Popular Posts

Showing posts with label workshop. Show all posts
Showing posts with label workshop. Show all posts

Dec 17, 2016

The Longest Running - Rewind Art 15

Hal yang paling menempel di kepala dari Rewind Art adalah bagaimana peristiwa yang mereka kelola berhasil untuk bertahan cukup lama. Bisa dibilang Rewind Art sebagai The Longest Running (performance art) Community Festival di Indonesia.

Memang ada banyak festival performance art yang berlangsung sepanjang tahun 2000an, beberapa bertahan lantas menghilang, beberapa sedang vakum. Tentu saja Rewind Art bukan satu-satunya, kini ada beberapa festival tahunan yang masih berlangsung di Indonesia, yang juga tak kalah menariknya.

citra poster diambil dari FB Rewind Art
Rewind Art lahir di IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Jakarta. IKIP perguruan tinggi yang khusus menyelenggarakan disiplin ilmu pendidikan. IKIP tidak hanya di ibu kota Jakarta, tetapi tersebar sebanyak 18 institusi negeri maupun swasta di berbagai daerah di Indonesia (Medan, Padang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Bali, Menado, Makasar, Gorontalo, Purworejo, Tuban).

Kesemuanya lahir sejak 1950 - 1960an, kemudian berubah menjadi Universitas, dengan maksud untuk memperluas penyelenggaraannya tak hanya tentang pendidikan sejak akhir 90an - awal 2000an. IKIP Jakarta berubah menjadi Universitas Negeri Jakarta, sementara yang lain bisa di telusuri masing-masing berubah nama jadi apa.

kantor Rewind Art 2016 di area gudang Jurusan Seni Rupa - UNJ
Kedua paragraf diatas cukup penting untuk saya jabarkan karena proses berjejaring Rewind Art, tak lepas dari jaringan perguruan tinggi IKIP di Indonesia. Dengan kata lain, walaupun terdapat partisipan berasal dari kota/latar belakang kampus/negara yang berbeda; banyak partisipan festival datang sebagai perwakilan jaringan universitas yang dulunya IKIP tersebut.

Dalam Rewind Art ke 15, beberapa kontingen (Surabaya, Surakarta, Malang) ini sempat presentasi tentang performance art yang mereka lakukan bersama teman-teman dari kampus masing-masing, dimana peristiwanya tak hanya mereka helat dalam kampus. Dengan kata lain pengetahuan saya semakin luas, bahwa banyak sekali pelaku performance art di Indonesia yang tidak diketahui (setidaknya untuk saya sendiri).

foto diambil dari blog Rewind Art
Sejak 90an mahasiswa/i IKIP-Jakarta Fakultas Bahasa dan Seni, kerap melakukan peristiwa ketubuhan (entah namanya sudah performance art/apapun), dilakukan secara individu maupun bersama, dan berkala.

Mereka mengerjakannya merespon kegiatan dalam kampus, seperti orientasi mahasiswa baru, perayaan wisuda, tugas sekolah, memprotes kebijakan kampus, dll. Maupun merespon kejadian di luar kampus, memprotes kebijakan pemerintah, merayakan hari Kartini/Pendidikan, galang dana setelah terjadi bencana di suatu kota.

Menurut pengamatan saya, peristiwa-peristiwa inilah yang membuat mereka membuka diri lebih luas lagi, kemudian tahun 2001 memutuskan ada peristiwa tahunan yang diberi nama Rewind Art.

makan bareng, malam sebelum hari-H
Pengelolaan Rewind Art berlangsung turun temurun, dimana alumni/pengelola sebelumnya akan menjadi pendamping, serta didukung oleh kampus. Beberapa nama yang dulu menyelenggarakan kini sering wara-wiri di dunia seni luar kampus, entah menjadi guru seni atau terjun langsung di dunia kesenian yang lebih umum; beberapa dari mereka adalah Arief 'nganga' Darmawan, Agus Jemat, M. Sigit Budi Santoso, Ridwan Rau-Rau, dan Mohamad Haryo Hutomo.

Pengelola atau panitianya senantiasa oleh mahasiswa muda, untuk kali ke 15 ini dikelola oleh para mahasiswa angkatan 2015, dibantu angkatan 2016; dimana Salman Khalid (SR-UNJ 2015) menjadi ketua pelaksana, dan Ridwan Rau-Rau menjadi pendamping.

Salman Khalid, ketua panitia Rewind Art ke 15
Sesuai dengan namanya sebagai Community Festival, seluruh kebutuhan selama festival berlangsung, dikerjakan kroyokan. Peralatan rekam yang memadai, sampai alat untuk melihat video/live streaming dipinjamkan dari kampus. Peralatan lain seperti sound-system, lampu kelap-kelip meminjam dari Serrum (yang juga didirikan dan didirikan oleh alumni UNJ).

Berbagai kebutuhan partisipan untuk tampil juga dikerjakan bersama-sama oleh para panitia, begitupun setelah semua penampilan, mereka akan membersihkan kembali seperti sedia-kala. Seluruh pertanggung-jawaban selama acara berlangsung, ditanggung oleh para mahasiswa muda ini.

beberes
Mereka jugalah yang merencanakan hendak membentuk acara yang bagaimana, tidak tampak adanya kekuasaan 'para senior' yang membebani kebebasan mereka bergerak. Saya segera membayangkan betapa beruntungnya para mahasiswa sudah mengalami cara mengelola, dan bertanggung jawab atas sebuah peristiwa kesenian yang lumayan besar ini sejak dini, sementara jaman saya masih mahasiswa tidak demikian.

I. Performance art lecture, diskusi, workshop singkat
(judul ini mengambil dari caption Dwinanda Agung Kristianto)

Diskusi dimulai setelah pembukaan di selasar gedung Pusat Studi & Sertifikasi Guru. Diawali dengan pidato pembukaan oleh Ketua Jurusan, dilanjutkan dengan deretan sambutan dari Ridwan Rau-rau sebagai kurator, dilanjut dengan Salman Khalid. Kemudian diskusi bersama saya.

Tidak ada tema yang spesifik diminta oleh Rau-rau maupun Salman saat meminta saya mengampu diskusi, mereka hanya bilang berbagi saja pengalaman performance art yang selama ini saya kerjakan. Hanya saja Rau-rau berkali-kali menekankan bagaimana agar forumnya tidak monoton/tidak kaku.

sambutan Rau-rau di pembukaan
Maka mengikuti pesan Rau-rau, saya pikir cara ternyaman adalah membuat seluruh peserta bergerak. Apalagi para peserta yang ikutan diskusi, 75%-nya adalah mahasiswa angkatan pertama. Saya berharap untuk mampu membagi sesuatu yang sejak dini dapat dipahami, tidak terlalu jauh membahas sesuatu yang akhirnya menjadi terbuang percuma.

diambil dari FB Dwinanda Agung Kristantio
Hal pertama yang saya lakukan adalah mengubah format ruang yang kaku. Para peserta saya ajak mengikuti gerak saya, dari bangun-balik badan-lantas melipat kursi dan meletakannya di satu pojok. Mengajak semua orang pindah ke sudut ruang, menganjurkan mereka untuk meletakan tas bersama di satu pojok.

Disuatu sudut menggunakan spidol hitam boardmarker di dinding keramik, saya menuliskan nama dan sedikit menyatakan sejak kapan, serta sudah kemana saja saya menggeluti performance art. Kemudian semua orang saya ajak untuk membuat lingkaran, bergandengan, kemudian berbaring terlentang di lantai.

diambil dari FB Dwinanda Agung Kristantio
Selama berbaring mereka saya ajak dengan singkat meregangkan tubuh, diawali dengan sedikit menggerakan ujung jari kaki-lutut-pinggang-tangan-bahu-leher-kepala, mengobrol dengan semua bagian tersebut. Sebagaimana yang saya sampaikan di forum, gerak ini saya ambil dari pengalaman dikelas Yudi Ahmad Tajudin ketika Aktor Studio di Teater Garasi.

Saya rasa mengobrol dengan bagian tubuh ini cukup penting untuk mendeteksi dan kenalan dengan tubuh sendiri. Cara yang kayanya lebih mudah dicerna, daripada menjelaskan panjang lebar tentang apa itu tubuh menurut persepsi/pengalaman/temuan saya.

Setelahnya ada pertanyaan dari Ari Adipurwawidjana, dia bertanya bagaimana kalau beraksi di dapur sendirian, apakah itu juga termasuk performance?

Pertanyaan ini lagi-lagi mengingatkan saya pada kelas Aktor Studio, kali ini kelas Matriks Akting oleh Ugoran Prasad. Satu pernyataan yang paling saya ingat adalah: kita semua berakting, bahkan ketika sendirian berkaca dalam kamar-mandi.

Jadi jawabannya bagaimana kita menjuduli aksi kita. Mau didalam lemari maupun di tengah hutan, bila kesadarannya 'menjuduli aksi' tertentu tersebut dari bagian kecil yang kita lakukan --kebetulan kali ini judulnya performance art--, saya kira bisa jadi jawabannya "iya, itu performance art" dan "tidak, saya cuma masak biasa didalam dapur."

foto diambil dari FB Rewind Art
Kemudian berlanjut dengan pertanyaan Okty Budiati, dia bertanya apa pendapat saya tentang "teks dalam tubuh?".. saya tidak langsung menjawabnya, tetapi kelas diajak untuk bubar dari lingkaran, mengumpul ke satu titik menghadap satu tiang besar di tengah ruangan. Ditiang tersebut saya menuliskan sedikit poin-poin dari peristiwa yang terjadi sebelumnya di ruangan tersebut. Trus menulis PA (menyingkat performance art), ruang, waktu, audience.

Saya putuskan untuk tidak menjawab pertanyaan Okty, tetapi melemparkan pertanyaan tentang apa itu PA ke para peserta diskusi. Saya sempat membisikan ke Okty, nanti kita bisa diskusi lebih lanjut soal ini, kini kita coba lihat apa yang ada di sebagian besar benak peserta diskusi.

foto diambil dari FB Rewind Art
Karena mereka kebanyakan diam, maka saya keliling mendekat ke mereka satu-persatu. Bertanya lebih dekat tentang apakah yang secara tiba-tiba melintas di kepala mereka, bila ditanya apa saja yang ada dalam PA.

Akhirnya beberapa secara acak, saling menyatakan kata-kunci yang ada di benak mereka. Saya duduk berpindah di antara peserta, kemudian satu-persatu maju menuliskan apa yang ada di benak mereka di tiang keramik tersebut. Kemudian setelahnya ada yang bertanya tentang apa yang tercantum di tiang. Saya akan meminta Sang-penulis yang mencantumkan menjelaskan, baru kemudian saya elaborasi.

Sampai ada yang membisiki waktu saya tinggal 5 menit, saya ajaklah semuanya untuk kembali berdiri, bertepuk tangan agak lama, memutar-mutar tubuh mereka. Saya jelaskan pada mereka bahwa hal ini saya dapat dari Ben Fox, seorang pemain sirkus asal Australia yang pernah melakukan ini di sebuah forum. Alasannya agar forum tidak kaku, dan membangun atmosfir yang hangat setelah lama mendengarkan sesuatu.

Sementara bertepuk tangan saya dapat saat nyasar ke pertemuan produk MLM, rasanya seperti memberi penghargaan kepada diri, sebagaimana saya ingin seluruh peserta menghargai diri mereka, menghargai kehadiran dalam suatu ruang dan waktu tertentu.

kata kunci yang ditulis bersama
Terakhir sekali, menutup forum bersama saya tersebut, mereka saya ajak bermain imajinasi. Mengangkat satu tangan, berdadah-dadah. Seolah mendadahi teman yang sedang diujung gunung. Lantas menunduk seolah mencari duit yang jatuh dari kantung. Ataupun akhirnya merasa senang karena ada transfer nyasar ke akun pas lagi lihat ATM. Bab imajinasi sendiri saya dapat dari Theodorus Christanto. Bagaimana suatu imajinasi bisa membawa kita kepada temuan-temuan yang tak berbatas dalam berkarya.

II. Rangkaian penampilan langsung

daftar penampil hari 1
Ada banyak sekali penampilan langsung yang hadir selama dua hari tersebut. Hari pertama lebih sedikit dibanding hari ke dua. Kesemuanya memiliki cara tampil yang berbeda, seluruh 'gaya' yang kerap saya temui diberbagai festival ada disini.

daftar penampil hari 2
a//
Seandainya kamu pernah melihat karya performance art yang ditampilkan langsung, silahkan tebak dan sebutkan apa saja yang mungkin akan hadir, kala sekumpulan performer diajak performance art; saya yakin pasti ada yang muncul disini sesuai dengan tebakan kamu.

Pertama performance art menggunakan cairan merah/cat merah. Misalkan penampilan Wira Abdi Mulya, Komet Radenroro, serta penampilan saya bersama teman-teman UNJ. Penampilan pertama oleh Wira Abdi Mulya dari Surabaya, di area dekat pintu masuk gedung F, dibawah segitiga bambu yang dibuat teman-teman UNJ.

wajah Wira sehabis perform
Wira tampil diawali dengan mengganti pakaian sehari-hari dengan setelan jas-dasi-celana hitam, kemudian mengecat wajahnya berwarna merah dan putih. Lantas dia menabur beras di tampah anyaman bambu. Menggosok-gosok mukanya, menjungkir balikan badan, memakan beras yang dia tabur.

penampilan Komet, foto oleh Bocor
Penampilan Komet Radenroro dari Bandung, diatas panggung permanen di pekarangan gedung F-SRUNJ. Komet muncul dengan kostum dan kain putih-putih, membawa kepala manekin. Lantas carian merah menggenang di panggung, mata manekin di bor lantas ditusuk gunting hitam/pisau. Cairan menyerap pada seluruh kostumnya, semua berubah menjadi merah.

penampilan bersama, foto oleh Bocor
Sementara saya berkarya bersama empat orang lain, meninggalkan ruang yang penuh dengan cairan merah. Mereka yang tampil bersama saya adalah Angga 'Acip' Cipta (alumni SRUNJ) karya video dan suara. Sakinah Alatas (mahasiswa SRUNJ - 2012) memakai kerudung hitam dan cadar miliknya. Kemudian Yoenathan Dwi 'Ijong' Pangestu (mahasiswa Tari UNJ - 2013), dan Rachel Roselyn (Jurusan Seni Rupa UNJ - 2015), yang menguasai tari Hip hop. Kami membicarakan rencana keseluruhan penampilan beberapa minggu sebelum festival berlangsung.

Tawaran isunya adalah bagaimana saya memandang perayaan apapun sama, misalkan rave party di Ancol sama saja dengan kumpul demo di Monas. Kami juga mendengarkan lagu Justin Bieber: Sorry, Company, Where are ü now, What do you mean. Lagu-lagu ini juga di mix live sama Acip bersama suara-suara perayaan keagamaan lainnya.

foto diambil dari FB Rewind Art
Penampilan bersama kami tidak memiliki banyak kesepakatan, tawarannya adalah merespon apapun yang terjadi di dalam ruang selama 26 menit, dengan menari dan mengajak orang-orang untuk turut serta. Ruangan sendiri dibagi dua menggunakan kain hitam, pembagian ini berdasarkan gender perempuan dan laki-laki; lantas kemudian pembatas ini hilang ditengah penampilan.

Bantal sebanyak 20 buah ditaruh acak di lantai, ketika di banting dia akan mengeluarkan cairan merah. Bantal idenya seperti alat menuju mimpi, mimpi yang naif berharap keberagaman pemeluk/kepercayaan/keagamaan bisa anteng saling berdampingan tanpa konflik.

b//
Selanjutnya yang juga kerap ditemui dalam performance art adalah penampilan yang memakan waktu cukup panjang. Jenis penampilan yang membebaskan orang-orang untuk tidak terus melihat, ditimpa dengan penampilan lain, atau senantiasa dikerjakan dengan laku yang statis/tidak banyak bervarisai/berulang.

penampilan Impho
Misalkan penampilan Indra 'Impho' Prayhogi dari Surabaya, yang dilakukan sore hari kala langit mulai mendung. Dia duduk di meja, piring-sendok dan wadah berisi sop, serta terdapat 3 kursi kosong. Dia menulis satu persatu huruf kapital diatas kertas putih A4, lantas menempelkannya di tembok belakang kursi-meja tersebut. Disana dia mencantumkan AREA BEBAS DISKUSI SENI. 

Lantas Indra mengajak 3 orang untuk ikut duduk dan makan bersamanya. Hujan mulai turun, Indra tak bergeming, begitupun ketiga-orang yang duduk bersamanya. Perlahan mereka semua mulai melepaskan sepatu, isi kantung (hape/dompet/rokok),  baju, celana, tas untuk diselamatkan dari basahnya hujan. Hujan semakin deras, sop tercampur air hujan.. mereka terus mengobrol dan berbasah-basah memakan sop tercampur air hujan tersebut.

penampilan panjang Kelvin & Azziz
Sementara lainnya ada Kelvin Atmadibrata dan Aziz yang mendorong pintu terbalik bersisian. Mereka terus menerus melakukan aksi tersebut bersamaan dengan penampilan beberapa performer lain. Kelvin dan Aziz saling mendorong pintu berujung melengkung tersebut, disebelah patung yang ada didepan gedung E-FBS (Fakultas Bahasa dan Seni).

Sementara Kelvin dan Azziz masih mendorong pintu, Entri Soemantri (alumni UPI/Universitas Pendidikan Indonesia/IKIP-Bandung) dari Sukabumi memulai penampilannya diatas panggung hijau permanen.

c//
Melilit wajah/bagian tubuh lain, entah dengan tali atau lakban juga sering kita temui. Entah berupa lilitan yang tidak benar-benar mengikat penampilnya, atau yang benar-benar mengikat tubuh. Beberapa penampilan seperti ini diantaranya..
penampilan Ricky
Ricky Unik dari Jakarta, di area bawah pohon seni. Ricky menyangkutkan tanaman merambat ke tubuhnya, beserta sampah yang terbawa. Mengangkat kakinya, bergerak kesana-kemari.

penampilan Indra & Kokoh
Penampilan malam hari dengan banjir merendam halaman gedung F-UNJ, katanya kali ini mending karena banjir tidak sampai merendam area lantai dasar gedung. Ternyata kondisi tersebut tidak menghentikan rangkaian penampilan. Diantaranya penampilan Indra dan Kokoh (mahasiswa UNJ), dimana sebuah kursi diletakan ditengah banjir, seorang duduk memegang payung.

Kemudian seorang lain menghampiri melilitkan lakban kertas ditangan yang memegang payung, menempelkan rokok di mulut orang yang duduk. Tentu saja rokok ini tidak hidup, karena basah. Setelah duduk sekian detik, lantas mereka pun selesai.

d//
Rangkaian penampilan yang mempertaruhkan kekuatan tubuh. Membiarkan kejadian berlangsung dengan resiko bisa menyakiti tubuh, tubuh yang kerap berlatih untuk akrobat, ataupun membuat bagian tubuh lain secara otomatis berubah.

Terdapat artikel khusus yang menuliskan tentang kesakitan dalam laku performance art,  artikelnya di tautan ini. Atau kalau menelusuri blog Rewind Art, kita juga akan melihat beberapa penampilan di tahun-tahun sebelumnya, yang membawa nafas yang serupa.

penampilan Entri
Entri Sumantri dari Sukabumi, berdiri tepat dikolong sebuah perancah merah beroda, melumuri lem diwajahnya, memakai sarung tangan, dan mengulur gulungan benang ke tubuh, menendang-nendang tiang perancah. Gulungan benang dia masukan kedalam mulut, lantas berdiri dengan kaki terbuka dan memegang tiang perancah.

Saya rasa bila melakukan tindak yang sama, rahang saya akan sangat pegal atau sakit, jangan-jangan bisa menyebabkan cedera. Penampilan lainnya adalah penampilan yang mengingatkan saya, saat beberapa kali bekerja untuk acara performance art. Ingatannya adalah untuk secara tegas menyatakan, tidak menyediakan tim medis khusus. Mengingat banyak sekali performance art yang cenderung mencelakai diri, namun tidak mempersiapkan tim khusus.

penampilan Ari, foto oleh Bocor.
Kembali ke Rewind Art 15, ada juga penampilan Ari Adipurwawidjana dari Bandung, dia membawa besi-besi yang khusus dia konstruksi menjadi sebuah kotak, dibungkus kain hitam. Beberapa penonton diajak Ari untuk menjaga keseimbangan kosntruksi besi, menggunakan tali putih empat penjuru. Sepanjang penampilannya Ari membicarakan soal gravitasi, bagaimana nasibnya berada ditangan banyak orang untuk menjaganya agar tidak jatuh.

Terdapat aspek lain dalam penampilan Ari, dia bekerja bersama seorang perempuan yang mengelola 3 laptop. Sebuah laptop untuk sambungan Skype dengan anak Ari yang sedang sekolah di Jepang. Sepanjang penampilannya Ari mengobrol dengan anaknya dan orang-orang yang berada di lokasi, kesemua ini juga disambungkan ke sound-system sehingga kami semua bisa mendengarnya. Laptop lain dihubungkan dengan kamera, sebagiamana diawal penampilannya Ari mengelilingi penonton membawa kertas berisi lamat web dan nomor ponselnya, dia mengumumkan bahwa seluruh penampilannya akan disiar langsung. Laptop terakhir berfungsi sebagai controler.

penampilan Swara foto oleh ?

Selain itu ada penampilan Swara, yang berakhir semaput. Dia tiduran, menutup mata dan memakai earphone. Menurut Bocor dan Rau-rau dia mendengarkan I-Doser, sebuah binaural beats yang bisa mensimulasikan keadaan mental tertentu, semacam narkoba digital. Berarti di banyak penampilan performance art yang mencelakai diri, kebanyakan berupa kesakitan yang tampak/bisa dilihat, disini penampilan Swara tak tampak.

Saya jadi bertanya-tanya, apabila penampilannya ini diadakan di ruang gelap, dengan sound-system memadai, dapat membuat semua orang di ruang tersebut pingsan/kejang-kejang?

e//
Ketelanjangan juga biasanya menjadi pilihan favorit para pelaku performance art. Walaupun semakin kesini, di Indonesia semakin sempit ruang yang membolehkan. Memakai kostum adat saja kini harus serba tertutup, apalagi mengatasnakaman kesenian.

foto diambil dari FB Rewind Art
Boang tampil menggunakan meja yang sama dengan Impho, melepas semua pakaiannya. Duduk, kemudian menendang-nendang kursi. Dia tampak marah sekali.

penampilan Okty, foto oleh Bocor
Okty Budiati dari Jakarta, diawali dengan melilitkan kain putih, layaknya cara pakai para biksu. Duduk dihadapan lilin, sambil menyusun kertas terdengar alunan musik Amir Pasaribu. Saat memakai kain inilah, kain tersebut melorot sampai dada.

Kemudian Okty juga berganti pakaian didepan orang-orang, dekat dari lokasi awal dia duduk, kaos hitam lengan panjang dan selana pendek jeans. Kertas-kertas itu kemudian di bagikan ke orang-orang untuk direspon. Sambil duduk bersila kertas yang sudah direspon orang-orang Okty bakar, penampilannya sekilas tampak seperti berdoa. Catatan atas penampilannya dapat di lihat di tautan ini.

f//
Melukis dihadapan orang-orang sepertinya juga yang paling sering muncul. Biasanya tidak serta-merta dinyatakan sebagai performance art, lebih sering dinyatakan sebagai live painting. Seperti penampilan Nurul (mahasiswa UNJ).

penampilan Nurul
Diawal penampilannya, Nurul beberapa kali memutari patung depan gedung FBS-UNJ. Sambil berkeliling Nurul mengucapkan syahadat 'la ilaha illallah', sambil menyeret kotak kayu. Kemudian dia memakai kain jarik coklat, lantas dilanjutkan dengan melukis diatas kanvas.

Ada yang menarik dari lukisannya ini, ketika saya hampiri dan bertanya apa yang dia lukis, dia menjawab 'sedang melukis yang nunggu pohon.' Memang tepat dihadapannya ada pohon seni yang menyatu dengan panggung. Diapun sempat mengajak orang-orang untuk membaca Al-Fatihah, sambil berdiri menghadap pohon, Nurul tampak khusyuk sekali.

**fin**
Tentunya seluruh penampilan yang saya jabarkan diatas, tidak mencakup seluruh seniman yang turut tampil langsung di Rewind Art ke 15. Dua hari tersebut sangat padat, ditambah lagi setiap malam ada pemutaran video maupun siar langsung dari seniman-seniman diluar Jakarta. Diantaranya ada Mohammed Abd Alwasi & Mazin Mamoory dari Irak, Chirantan Mukhopadhya dari India, Enny Asrinawati dari Kalimatan, Inti Pujol dari Argentina, dll.


Sayangnya saya kurang keliling, mengobrol ke para penampil. Apakah yang ada di benak mereka, hal apakah yang ingin mereka utarakan saat tampil? Kenapa melakukan A dan B, apa yang membuat mereka memutuskan suatu benda menjadi propertinya? Apakah pemilihan lokasi tertentu menjadi tiang utama penampilan mereka? Pentingkah satu isu yang mereka junjung, sampai ke orang-orang yang melihat?

Rewind Art Community Festival yang ke 15 yang berlangsung pada 8-9 Desember 2016 membuka mata saya untuk berbagai hal, mematik berbagai pertanyaan yang sampai saya menulis ini belum ketemu jawabannya. Intinya saya merasakan bahwa menyenangkannya Rewind Art adalah membuka peluang terbuka dan sebebas-bebasnya, untuk para seniman mengeksplorasi/menampilkan performance art.

Dec 12, 2016

Gravitasi & Tubuh

Pas lagi nongkrong asik di Rewind Art Community Festival aku dan Mbak Okty ngobrolin pengalaman Butoh, gegara pernah ikut kelas Yoshito Ohno. Jadinya malah bukan ngobrol spesifik soal Butoh, pembahasannya jadi mengenai titik temu kepusingan aku soal tubuh dan gravitasi.

Awalnya gara-gara bertahun-tahun aku jadi atlit senam ritmik (senam lantai + irama + ballet) di Lampung.. dasar geraknya adalah mengepit bokong, perut senantiasa ditarik masuk kedalam, bahu turun, dagu sedikit mendongak, serta banyak jinjit dan melompat. Setelah itu setiap perlombaan selalu merangkai gerak mengikuti musik klasik barat (jutaan kali mendengarkannya membuat aku kini stres denger musik klasik).

Bahagianya adalah jadi sering bolos sekolah karena latihan. Tetapi latihannya sangat ketat, bisa seharian (subuh-pagi-siang-sore-malam). Ada standar berat badan sehingga senantiasa diet ketat. Tubuh dilatih/dibentuk sedemikian rupa untuk tampak seringan kapas saat bergerak.

O iya.. waktu SD juga sama ibuku dimasukin sanggar tari tradisional Sumatra Barat, waktu itu maksud ibu biar aku ga tomboy, lebih gemulai layaknya perempuan. Pelajaran di sanggar tersebut tidak banyak méndak (menahan tubuh kebawah), lebih banyak pada bermain irama.  Tapi baru setahun sama ibu dihentikan, karena bukannya makin gemulai jadinya malah sering mentas. Dia khawatir aku jadi serius seni-senian, taunya sekarang iya.. hahaha. 

Setelahnya aku kuliah Seni Patung di STISI (sekarang Telkom University). Kirain wacana soal tubuh ini akan berakhir di kelas tersebut. Ternyata kelasnya diawali dengan bikin figur orang 1:1, bikin penasaran soal anatomi tubuh manusia dan jadi berteman sama anak-anak kedokteran. Di semester awal dosenku waktu itu mengajari cara megerjakan patungnya adalah bercermin sambil meraba, kemudian hasil rabaan itu ditransformasikan ke tanah liat. Dari situ aku sadar, bahwa melihat bisa banyak menipu, mata memiliki kemungkinan berilusi saat menangkap visual. Ternyata rabaan membuat aku ‘melihat’ tubuh menjadi berbeda, aku jadi belajar tentang batas-batas kemampuan tubuh.  Semakin dalam lagi karena selanjutnya adalah bikin patung yang sedang begerak, jadi belajar sistem kerja otot dan syaraf. Terus berlanjut lagi bikin patung distorsi tubuh (physical/permukaan maupun gerak).

Trus bertahun-tahun kemudian ikut performer studio Teater Garasi. Dari berbagai materi salah satunya aku kenalan sama PGB (Persatuan Gerak Tubuh/Bangau Putih), saat itu kesulitan aku pada gerak yang banyak mendekat ke tanah/lantai (misal latihan awal dimulai dari 'geseran': melangkah kecil/lebar & dimana seluruh permukaan telapak kaki menempel di tanah). Belajar membawa beban tubuh kebawah dengan lutut semplak (pernah cedera waktu jadi atlit senam). Efek paling signifikan selain cedera lutut perlahan menghilang,  aku jadi jarang jatuh, pernah jongkok di WC duduk pakai sepatu licin trus kpleset, bukannya nyium tanah tapi mendarat cantik berpose kuda-kuda.. hahahaha.

Kesimpulan singkatnya PGB bergerak dimana tubuh menyerap gravitasi, sementara Senam Ritmik melawan gravitasi. 

Kembali ke Butoh.. Kelas kala itu lebih menerangkan ideologi Butoh, Yoshito banyak memancing imajinasi kami dibanding mengatur bagaimana kami harus bergerak. Dia banyak berbagi mengenai apa saja pengalaman tubuhnya, apa yang dia rasakan hidup di Jepang dengan berbagai kejadian. Peserta di kelas tersebut juga dari beragam usia dan latar belakang, hal ini menjadi menarik karena semua orang gerakannya berbeda.

Dari berbagai bagian yang diajarkan di kelas tersebut, diantaranya adalah bergerak sambil membayangkan biji yang tumbuh menjadi bunga, terus tumbuh menyongsong matahari, mekar wangi merekah, kemudian layu lantas mati, masuk dalam tanah. Atau bagian lain adalah bergerak sambil membayangkan menjadi angin, menjauh dari bumi, merangkul bumi, bumi diangkat sama kedua tangan, dari terasa sangat ringan sampai menjadi sangat berat, dst..  

Saat itu berjam-jam di kelas tidak terasa, malah jadinya kaya abis over-dosis meditasi. Bahkan di kereta kesadaranku belum penuh, tubuh rasanya melayang. Efek setelah kelas, selain semakin meyakini soal ephemerality (ke-tidak-abadi-an).. aku bahagia karena kelas yang banyaknya mengolah imajinasi, membuat tubuhku bertemu titik tengah gravitasi (dari serap dan lawan gravitasi).

Nulis ini gegara baca tulisan Okty Budiati.

Dec 21, 2015

Fakultas Percakapan

Sedari awal melamar residensi Yayasan Biennale Yogya ke Madagaskar saya membayangkan petualangan seru ke sebuah negeri antah-berantah, hal lain yang terkenal dan muncul seketika dikepala saya adalah kecoa raksasa (hishing cockroach). Apalagi setelah melihat kartun Madagascar (DreamWorks, 2005), penelusuran di internet yang menampilkan keanekaragaman hayatinya, juga info yang menyatakan orang-orang Indonesialah yang pertama datang kesana.

Membayangkan bertemu orang-orang, menyerap sebanyak-banyaknya pengalaman, menyelami situasi nyata kehidupan mereka. Saya kurang yakin dapat memproduksi sesuatu  bersama dalam waktu yang sedemikian singkat. Makin singkat membayangkan kerja sama dari nol, dari tidak kenal personalnya, situasi dan rasa atas kondisi hidup mereka, lantas menyerap sebanyak-banyaknya sesuatu yang lahir seketika atas pengalaman di waktu tertentu.

Tetapi setelah lamaran diterima dan Bu Neni memberi penerangan ringkas tentang Madagaskar, saya mulai curiga jangan-jangan disana akan jauh dari bayangan. Ibu sudah bilang suasananya mirip di Indonesia.


Sampai sana, persis seperti yang diterangkan Bu Neni, sekilas mirip sekali; bayangan atas kota antah berantah tidak muncul, mungkin karena saya banyaknya di Antananarivo (ibukota). Hari pertama saya tanya tuan rumah, Cecil dari Is’Art Galerie, katanya saya harus melakukan perjalanan yang cukup panjang dan lama, harus kepedalaman atau hutan untuk bertemu semua itu. Memang ada beberapa tempat organik (kebun binatang ataupun Lemur Park), tetapi juga tidak kesampaian sampai hari terakhir saya disana.

Maka segeralah bertemu orang-orang, Is’art Galerie menjadi poros utama pertemuan. Rapat pertama bersama mereka adalah pertanyaan tentang saya mau bikin apa. Saat itu saya belum bisa memastikannya, seperti dalam proposal lamaran “the plan is to have no plan.”

Hari pertama saya di Madagaskar (Minggu), Cecil mengajak saya piknik bersama keluarga Tahina. Sesampainya di lokasi piknik kami menunggu ibunya menyelesaikan acara di gereja, yang pucuknya terlihat tak begitu jauh diperbukitan sebrang kami. Lokasi lumayan panas, pohon-pohon disana meranggas karena baru saja di bakar untuk menghilangkan hama serangga.


Sembari menunggu, Tahina mengajak saya jalan ke gereja tempat ibunya, ditengah perjalanan kami berpapasan dengan ibunya. Tetapi kami tetap meneruskan perjalanan, area tersebut sekitar sejam perjalanan dari pusat kota. Memasuki desa saya melihat gereja Katolik. Kemudian gereja lama yang penuh sarang laba-laba. Tak lama kami berada di gereja yang pucuknya tadi kami lihat, didepan gereja semua orang berkumpul mengantri makanan. Setelah perayaan mereka biasanya makan-makan, dibagikan gratis pihak gereja.

Minggu depannya saya juga diajak ke gereja lain, karena Miora (salah satu partisipan lokakarya) bersama kelompok Gospelnya akan tampil. Rupanya itu perayaan tahunan, sama dengan gereja ibunya Tahina. Semua orang kembali/mengunjungi kampung untuk perayaan setahun sekali. Polanya mirip, bedanya di gereja sebelumnya tidak ada panggung pertunjukan.

Hal ini membuat saya berasumsi bahwa keluarga besar, merupakan lingkungan yang berarti dan mempunyai peranan penting atas diri masing-masing orang. Seperti umumnya keluarga di Indonesia. Hal ini di kemudian hari saya masukan dalam elemen lokakarya.


Saat itu yang ada dalam benak saya dasarannya akan mengeksperimentasi metode openness, tantangannya adalah membuat percepatan atas tahapan-tahapan tersebut; melalui semacam lokakarya mungkin bisa mendapatkan banyak pengetahuan di waktu yang bersamaan. Kemudian saya ajukan ke Is’Art Galerie untuk mengajak 4 – 8 orang, bebas seniman atau bukan yang penting mau berproses bersama.

kelompok 1
Kelompok ini awalnya tidak dibayangkan akan jadi tiga. Namun saya terganggu karena tidak memiliki varian gender, semua lelaki sudah saling kenal dan tidak memiliki varian latar belakang yang beda.

Ternyata Sarah (tim kerja Galerie) salah paham, dikiranya harus seniman dan dia kesulitan menemukan perempuan. Jadi aku menanyakan kemungkinan membuat kelompok dua, sebagai pengimbang baiknya perempuan semua.

Pencarian kelompok dua ini bersamaan dengan sesi awal dengan kelompok satu. Untunglah beberapa proses sudah diunggah ke album Facebook saya dan partisipannya sudah saya tandai di masing-masing foto; sehingga banyak pengguna FB yang berdomisili di Madagaskar me-like. Dari situ saya melihat ada sekitar 10 perempuan, semua saya kirimkan pesan, mengundang hadir dan terlibat. Satu turut serta, sebagian menjawab mereka diluar kota, sisanya tidak ada kabar.
kelompok 2
Kelompok tiga lahir saat berkenalan dengan Mirai, dia mengajak untuk mengadakan lokakarya ke Toamasina, serta akan mencarikan tempat dan orang. Setelah melihat jarak, waktu dan memastikan Sarah ikut sebagai penerjemah, maka diputuskanlah untuk datang kesana.

kelompok 3
Bersama kelompok saya melakukan semacam lokakarya, terdiri atas tiga tahapan:
  1.  Reflection // Perkenalan, Karakter
    Menggunakan post-it menuliskan nama lengkap dan panggilan, meletakannya di meja. Lanjut ke pertanyaan “what is art?,” pada kelompok tiga pertanyaan di ubah menjadi “what is life?.”



    Dari situ forum dibawa ke “5 rangkai pertanyaan,” pola ini aku ketahui dari seorang teman dan di internet disebut sebagai teknikpenyelesaian masalah
    . Bedanya teknik ini saya eksperimentasi untuk mempercepat tahap perkenalan.

    Jawaban dan rangkaian pertanyaan semua orang berbeda. Lantas disambung dengan menebak karakter dari pernyataan, pola menulis dan menyusun post-it. Susunan post-it ditempelkan di meja, di depan posisi duduk masing-masing, dihadapkan berlawanan, agar yang duduk berhadapan dapat saling membaca pernyataan masing-masing.


    Diakhiri dengan diskusi panjang, kata mereka menjadi reflektif ke diri masing-masing, bahkan perpanjangannya sampai apa yang bisa dilakukan masing-masing untuk lingkungannya, kondisi ekonomi yang sebenarnya bisa membantu banyak, serta bagaimana saling memahami diri dan orang-orang.
    Dari sesi ini tahapan opennes dari engaged -> sharing -> empathy segera meningkat. Kelompok dua tidak saling kenal, hanya tahun nama tapi tidak berinteraksi, namun sepulang dari pertemuan terjadi percepatan pertemanan. Terkejut dengan anggapan awal masing-masing, lebih mengenal dan merasakan satu sama lain. Demikian bagi saya terhadap seluruh kelompok. 
  2. Expedition // Perjalanan, Pengamatan, Pekerjaan, Keluarga
    Sesi kedua bisa dikatakan sesi utama. Tahap ini dilaksanakan diatas kertas coklat memanjang yang digulung. Didalamnya terdapat empat elemen, dimulai dari mempola telapak tangan yang biasa dipakai menulis di kertas, menggambar berbagai hal yang dilihat di jalan, disekitar pola telapak tersebut.


    Mempola telapak tangan ini terinspirasi dari kelakuan Nunun Tjondro, dia senang sekali meminta kami untuk mempola tangan di bukunya. Saya kurang tahu sebenarnya apa maksudnya, sementara bagi saya hal ini semacam peninggalan termudah dan terdekat dari seseorang.
    Kemudian elemen berikutnya adalah menulis perjalanan hari tersebut dari bangun tidur sampai waktu pertemuan, aktivitas/pekerjaan mereka, bagaimana hubungannya dengan keluarga masing-masing.
    Setelahnya mereka membaca-menerangkan-menceritakan semua yang mereka terakan pada kertas tersebut. Menceritakan dan teringat hal-hal yang luput, maka ditambahkan menggunakan warna lain.

    Sementara yang lain menyimak, bertanya apabila ada yang menarik. Beberapa kalimat menjadi kata kunci, untuk menjadi materi diskusi. Pernyataan semakin personal dan mulai diangkat. Diskusi menjadi semakin panjang, pengalaman mirip juga dialami orang lain, penambahan kisah tercantum pada bidang yang masih tersisa di kertas tersebut.
    Tahapan opennes yang sudah muncul dari sesi sebelumnya bertambah dengan “transparancy -> empowerment”. Pemaparan aktivitas/pekerjaan dan keluarga, muncul juga harapan-harapan, pencapaian yang belum atau enggan dilakoni karena tidak percaya diri, tidak yakin akan didukung keluarga.

    Kemudian karena tahap “engaged -> sharing” yang terbangun cukup baik di sesi sebelumnya, dengan otomatis semua saling “emphaty,” saling merasakan dan dengan organik, pencapaian “transparancy” ini diluar dugaan, tidak khawatir menyinggung saat memberikan saran terhadap satu sama lain.



    Mengapa sesi ini saya nyatakan utama, karena durasinya paling panjang bawaan dari pendalaman isi, tanpa ragu mengedepankan sisi yang lumayan sensitif atas diri ataupun bangsa. Pertikaian keluarga atas budaya menurunkan warisan, kepemelukan, kondisi keuangan yang semakin menipis bahkan pengeluaran lebih banyak dari pendapatan. Maupun yang umum tentang betapa menyedihkannya sejarah politik negara, tragedi masal ras/etnis/geografis, meningkatnya tingkat depresi, persoalan hasil bumi yang terus digerus orang asing, pemampatan jalur informasi maupun pengetahuan, minimnya lapangan pekerjaan, penjajahan yang tidak henti-hentinya masih mereka rasakan, dan lain sebagainya.


    Bagi saya yang paling menarik adalah percakapan tidak semata keluhan. Semua diiringi dengan solusi, pandangan positif, satu sama lain melakukan “empowerment;” setidaknya turut membantu untuk melihat dari sudut  pandang yang berbeda, bahkan penekanan untuk memperbanyak dan merealisasikan mimpi-mimpi tanpa kenal lelah. Memulai perubahan dari hal terdekat tampak kecil, sampai untuk orang banyak.      
  3. Expression // Nalar Wajar, Pernyataan
    Sesi terakhir terdiri dari tiga pertanyaan. Saya dapatkan dari metode ice-breaker untuk kelompok kecil, tapi saya pilih berdasarkan kesinambungan lokakarya yang sudah berlangsung. Juga melihat tingkat kejenuhan, apabila di sesi 1 dan 2 sudah didominasi dengan tulisan, berkisah; tahapan mengolah visual ini menjadi penyeimbang.



    Pertama semua menggambar tiga objek yang akan mereka selamatkan bila tempat tinggalnya terbakar. Kedua menggambar apabila lahir kembali sebagai binatang. Ketiga menggambar dengan memilih delapan visual dimana masing-masing pertanyaan terdapat dua pilihan, mulai dari: pisang atau wortel, televisi atau musik, populer atau pemenang, mendengar atau melihat, hiu atau macan, masa depan atau masa lalu, dingin atau panas, kasat mata atau membaca pikiran.

    Kelompok satu masih mempunyai waktu untuk menjelaskan masing-masing pilihannya. Sementara untuk kelompok dua dan tiga, sudah tidak banyak waktu, hal ini akan dibicarakan melalui group messanger FB.
    Sementara dari kelompok satu alasan-alasan yang dipilih beragam. Jawaban menyelamatkan tiga objek, rata-rata menggambar telpon genggam dan dokumen-dokumen penting. Kemiripan lain pilihan menyelamatkan benda yang berhubungan dengan profesi baru menyelamatkan pemberian.

    Ada juga yang alasannya sebab-akibat, api-asap bikin sesak dan haus, jadi yang digambar adalah topeng/masker anti asap dan sebotol air minum. Hal umum lainnya adalah pakaian. Tetapi alasannya lucu dari pakaian adalah gambar celana jeans, bayangannya ketika kebakaran malam hari dan dia selalu tidur tanpa celana.



    Lain halnya dengan memilih binatang pada elemen kedua sesi tiga. Ada yang menggambar Zebu, simbol keperkasaan juga keagungan; ikon Madagaskar yang adanya hanya di kawasan India dan Afrika. Dimakan dagingnya pada 
    perayaan tertentu, di pelosok banyak memiliki Zebu berarti tingginya status sosialnya.

    Sisanya binatang yang bisa terbang, hidup di laut dan berenang kesana kemari, bebas dan memiliki jangkauan yang luas. Ada yang menggambar kura-kura karena alasannya, membela perburuan liar yang mengakibatkan kepunahan. Unicorn karena percaya bahwa dia bukan binatang khayalan.

    Ragam penjelasan pada elemen ketiga/pertanyaan pilihan sesi tiga, lumayan banyak. Bahwa masa depan seperti mimpi, dimana kebebasan tertinggi berada disana. Menjadi kasat mata adalah kesempatan untuk melihat dunia tanpa batasan lalu hubungannya dengan keyakinan/kekuatan yang maha besar. Memilih masa lalu karena dianggap murni. Atau alasan-alasan logis, kepanasan menyebabkan alergi kulit, kalau kedinginan bisa memakai baju berlapis. Tidak memilih macan karena itu binatang pemalas.



    Hampir semua memilih melihat, hanya satu yang memilih mendengar. Seorang ibu guru yang hadir di presentasi menyatakan, hal ini dia temui dari lapis usia belia, kesimpulannya, mereka di Madagaskar sudah lelah mendengarkan, kini waktunya mereka bicara.



    Diskusi yang muncul tentang masyarakat tengah/pegunungan dan pinggiran/garis pantai, yang kaya/miskin, atau naik derajat karena menikahi orang asing. Kesenjangan yang lahir dari kepemelukan, antara penyembah leluhur dengan pagama-agama samawi. Derajat dan kesenjangan sosial antara yang tinggal di pusat (Antanarivo berada di pegunungan) dan yang tidak. Perbudakan yang terjadi antar manusia, maupun sebaliknya, melihat bangsa berkulit putih sebagai yang baik, disembah dan rela berbuat apa saja karena dianggap lebih pandai dan sumber satu-satunya penghasilan.

Dalam prosesnya, sebelum saya bertanya pada seluruh partisipan, mereka sudah aktif berkomentar atas pengalaman yang mereka dapat. Bertanya berbagai hal. Pertanyaannya dari “apakah pola berkarya saya selalu sama?” Jawaban saya ketika itu: tergantung, sempat beberapa kali dan selalu tertarik bentukan yang dikerjakan bersama, bereksperimen terhadap berbagai temuan metode dari mana saja, tidak melulu dari latar kesenian.

Komentar mereka selalu positif, dari sesi satu sudah ada yang menyatakan mereka terinspirasi, memicu kepenasaran dan tidak pernah dilakukan. Juga tidak pernah melihat bagaimana sesuatu bisa saling berkaitan, dimana perputarannya bisa membawa jauh ke hal-hal yang sangat luas.


Kemudian ditengah proses mereka melihat arah maksud lokakarya, mulai memahami apa yang sedang kami lakukan. Saya juga masih dalam proses berpikir, belum tahu perjalanan lokakaryanya akan membawa kemana. Ditengah lokakarya kelompok pertama saya masih memikirkan ide tentang tema “bahasa.”
Berangkat dari sulitnya mengobrol dengan mereka, kalau tidak ada Google translate ke bahasa Perancis (tidak berhasil mengunduh aplikasi terjemahan kedalam bahasa Malagasy) akan sulit sekali mendapatkan percakapan. Sementara saya mengandalkan bertemu orang-orang; alasan lain yang membuat saya memilih bentuk lokakarya.

cuplikan video presentasi kesesatan bahasa
Dari situ saya juga membuat video (00:16:51) “presentasi kesesatan bahasa.” Berisi latar belakang saya dan bagaimana bisa datang ke Madagaskar, serta tiga karya sebelumnya.  Saya terinspirasi tata presentasi Grace Samboh di Taipei, menggunakan kata/kalimat disetiap halaman, Presentasinya memunculkan rantai ide lain, bagaimana kalau kata-katanya tidak diucapkan tapi dihadirkan  dalam layar presentasi. Selain saya juga tidak bisa melafalkan bahasa Perancis, jadi untuk lebih mudahnya sekalian saya jadikan video bisu. Tentunya kata-kata dalam presentasi tersebut saya terjemahkan sembarangan kedalam bahasa Perancis.

Presentasi ini terjadi ditengah proses dengan kelompok pertama, kami semua menampilkan secara bergantian karya kami. Presentasi ini sangat berguna untuk memahami lebih jauh personil kelompok tersebut, untuk karyanya selain visual tidak saya temukan penjelasan lebih mendalam tentang karya masing-masing. Dari tiga kelompok mereka yang paling sulit berinteraksi, kebanyakan menampilkan dari sisi luar mereka, lebih diplomatis. Dua orang dari kelompok ini juga sampai akhir kurang memahami seluruh lokakarya. Menurut Cecil hal ini lumrah terjadi di Madagaskar, pengalamannya meneliti di negeri ini. Konon katanya para lelaki selalu demikian (diplomatis) sementara para perempuan lebih terbuka dan apa adanya. Saya tidak tahu apakah ini pengaruh dia (saya) yang sama-sama perempuan, atau memang demikian prilaku umumnya.

Sementara kelompok lain menyatakan diri paham atas lokakarya dan menurut mereka ini pengalaman yang berharga. Percakapan kami juga meluas keberbagai bidang masing-masing, misalnya salah satu peserta bernama Stephanie adalah mahasiswi Ornitologi (pengamat/ahli burung) yang sedang menysusun Ph.D-nya. Kami banyak berbagi diluar forum tentang kondisi lingkungan negara masing-masing, terutama kawasan hutan. Lantas bertukar pikiran tentang langkah apa yang sesuai dengan kemampuan, yang kami ambil sebagai pernyataan temuan kami. Dia juga menyatakan mendapatkan banyak hal yang membuka matanya, juga bahwa segala hal bisa ditemukan cara mengekspresikannya.


Memasuki lokakarya kelompok kedua, saya mulai menemukan “persepsi” merupakan tema yang lebih tepat. Berbagai hal yang saya tanyakan ke mereka berbanding terbalik dengan persepsi saya. Misalkan dalam post-it Eric, “free job” baginya adalah kebebasan bekerja, baik polanya maupun caranya. Dimana-mana saya temukan miss-perception, dugaan-dugaan ternyata bisa tidak nyambung.

Semakin yakin di kelompok dua, dimana nyaris semua berbahasa Inggris. Ketika Elodie menyatakan dia tidak mau menjadi “ibu rumah tangga,” ternyata maksudnya adalah bukan profesinya, tetapi kehati-hatian didalam mengambil keputusan; dia melihat keputusan yang disesali ibunya, untuk berhenti bekerja dan menyerahkan semua pada ayahnya.

Pertanyaan lainnya adalah apakah saya humanis. Saya pikir tidak sebegitunya, berangkatnya dari kesenangan mempelajari bagaimana manusia berinteraksi dengan cara kreatif, menghadapi sesamanya, menghadapi alamnya dan sebagainya; dimana hal ini kerap membongkar pasang penemuan karakter saya sendiri.

Sedikit kembali ke metode openness, saya tidak berhasil menyingkat waktu. Tahapan “collaboration,” walau saya juga kurang setuju dengan istilah tersebut; artinya masih bias dan kurang paham juga kenama kata itu. Saya pikir lebih cocok katanya adalah “cooperation,” karena yang saya bayangkan setelah rangkaian ini, bisa di olah-sandingkan dengan tahapan lokakarya yang sama di Indonesia, kemudian di tilik ulang, bahas bersama temuannya, untuk kemudian (juga bersama-sama) mencetuskan untuk membuat sesuatu. Mungkin suatu hari eksperimennya bisa sampai situ.


Sisi lainnya, penutup atau kesimpulan sementara proses lokakarya didapat dari percakapan dengan bapak Ranaivo, beberapa saat sebelum saya menyelesaikan display di hari presentasi. Beliau adalah ayahnya Sarah, Sarah yang bekerja di galeri dan juga ikut di kelompok dua. Dia bercerita pada ayahnya tentang proses lokakarya yang menyenangkannya. Hal ini  membuat ayahnya juga ingin bertemu saya. Begitupun saya, gegara Sarah bercerita dalam sesi keluarga, bahwa ayahnya adalah pensiunan pemandu wisata yang pernah bekerja dengan banyak peneliti keanekaragaman hayati, serta pernah bekerja di NASA.



Percakapan dengan Pak Ranaivo (b.1945) berlangsung dengan enak sekali. Obrolan kami mulai dengan cengkeh yang diselundupkan dari Halmahera, menurutnya juga dari Mexiko. Dilanjutkan dengan karakter pohon Boabab yang dalam batang utamanya berisi air, Lemur mini sebesar jempol tangan, sampai berbagai keanekaragaman hayati lainnya. Lalu tak bisa dihindari obrolan menuju ke nasib buruk alam rimba Madagascar, longgarnya hukum dan korupsi pemerintah yang membuat beberapa negara asing menguras yang kurang bertanggung jawab. Sampai akhirnya ke seri presiden yang hanya menjadi boneka kolonisasi, dia mencotohkan dari lambang yang masih saya lihat di pojok bawah peta rute (yang juga tidak jelas struktur petanya) halte angkutan umum. Lambang Zebu khas Madagascar dan Fleur-de-lys (bunga Lily Perancis yang modis). Lanjut ke pekerjaannya di stasion NASA  (35 km barat kota) sebagai pencatat transmisi data dari satelit yang berputar mengitari bumi. Pengetahuan yang di tahan untuk sampai ke masyarakat. Sampai kerusuhan 2009 yang membuatnya traumatis, kemudian melahirkan bandit-bandit yang kini menggangu manusia dimana dahulu hanya mengincar Zebu.

Pembicaraan kembali ke alam raya dan hubungannya dengan manusia, seperti istilah Malagasy yang dia ucapkan “Ny Fanahy No Dlona” (kehadiran seseorang itu terlihat dari jiwanya). Alam harus memperingatkan manusia, kita punya kesempurnaan otak yang tidak ada batasnya, maka jelajahilah semesta, maksimalkan dalamnya dan pakailah untuk hal-hal dijalan yang tepat. Jagad ini dihuni oleh manusia, binatang, alam, planet; tetapi manusia adalah predator tertinggi. Percakapan kami selesai.


Setelahnya saya mengajaknya berkeliling, menunjukan keseluruhan artefak dan menjelaskan alur dan hasil lokakarya. Dia nyeletuk menamai keseluruhan artefak di ruang itu sebagai “Fakultas Percakapan.” Saya segera terpengaruh dan setuju, dengan seketika meletakannya di teks pengantar dinding sebelum masuk ruang presentasi dengan bahasa Indonasia-Malagasy, lantas menamai projek yang belum rampung ini dengan nama tersebut.


Pola presentasi tidak dilakukan seperti biasanya (duduk-bicara dan melihat proyektor). Tetapi semua materi lokakarya ditempel ke dinding, penempatannya disesuaikan dengan tahapan lokakarya, tidak berdasarkan nama maupun kelompok. Khusus untuk sesi 3 saya kelompokan pilihan yang sama, misalkan jawaban pilihnya adalah dingin, maka dalam satu area semuanya tentang gambar tersebut.

Barulah diantara itu semua disebar berbagai alat tulis, diletakkan kertas kosong dengan tulisan “silahkan komentar,” harapannya pengunjung akan ikut mengomentari. Pengunjung diajak berkeliling dan saya ceritakan bagian-perbagiannya, darimana gagasannya berangkat, apa saja yang terjadi di forum, berapa lama proses pengerjaannya. Ada seorang pengunjung yang datang sendiri, masuk langsung mengambil alat tulis dan komentar di kertas kosong dan lembar artefak. Dia menulis menggunakan bahasa Malagasy, ketika saya tanya Sarah katanya dia mengomentari keadaan negara, pemerintah, bagaimana sebaiknya menjadi warga.



Sebagian dari mereka tidak mengetahui dan menyatakan baru lihat bentuk kesenian berdasarkan kerja bersama dan bukan hasil akhir, karya yang mengedepankan gagasan dibanding bentuk artistik. Pak Hanggo malah menyatakan pola ini bisa dipakai sebagai metode untuk penelitian isu tertentu. Pak Sudaryono dari kementrian pertanian menyarankan untuk d­­­ibikin buku, bahkan menyarankan aku untuk menjadi filsuf. Pak Artanto ketua KUTAP menyarankan untuk meletakannya acak dilantai seperti puzzle, sehingga pengunjunglah yang memilah masing-masing artefak yang dipajang tersebut.



Para pengunjung ketika ditanyakan pada akhir presentasi, menyatakan mereka memahami yang kami kerjakan. Mereka balik menanyakan apa makna dibalik semua gambar dan proses ini, sampai kini saya tidak memiliki makna tunggal atau mendetil. Walaupun secara keseluruhan prosesnya semacam investigasi, namun saya tidak bermaksud memaknai satu-persatu layaknya tes psikologi. Saya hanya ingin mengetahui dan menyerap, apa yang mereka lihat dan rasakan. Banyaknya yang muncul dari proses tersebut, juga membutuhkan waktu tidak sebentar, sementara saya harus pulang saat belum selesai saya olah lebih jauh.



(Catatan proses residensi 1-30 November 2014 - Antananarivo and Toamasina, Madagaskar. Dibuat pada 13 Nov 2014 sebagai laporan ke Yayasan Biennale Yogyakarta)