Popular Posts

Dec 12, 2016

Gravitasi & Tubuh

Pas lagi nongkrong asik di Rewind Art Community Festival aku dan Mbak Okty ngobrolin pengalaman Butoh, gegara pernah ikut kelas Yoshito Ohno. Jadinya malah bukan ngobrol spesifik soal Butoh, pembahasannya jadi mengenai titik temu kepusingan aku soal tubuh dan gravitasi.

Awalnya gara-gara bertahun-tahun aku jadi atlit senam ritmik (senam lantai + irama + ballet) di Lampung.. dasar geraknya adalah mengepit bokong, perut senantiasa ditarik masuk kedalam, bahu turun, dagu sedikit mendongak, serta banyak jinjit dan melompat. Setelah itu setiap perlombaan selalu merangkai gerak mengikuti musik klasik barat (jutaan kali mendengarkannya membuat aku kini stres denger musik klasik).

Bahagianya adalah jadi sering bolos sekolah karena latihan. Tetapi latihannya sangat ketat, bisa seharian (subuh-pagi-siang-sore-malam). Ada standar berat badan sehingga senantiasa diet ketat. Tubuh dilatih/dibentuk sedemikian rupa untuk tampak seringan kapas saat bergerak.

O iya.. waktu SD juga sama ibuku dimasukin sanggar tari tradisional Sumatra Barat, waktu itu maksud ibu biar aku ga tomboy, lebih gemulai layaknya perempuan. Pelajaran di sanggar tersebut tidak banyak méndak (menahan tubuh kebawah), lebih banyak pada bermain irama.  Tapi baru setahun sama ibu dihentikan, karena bukannya makin gemulai jadinya malah sering mentas. Dia khawatir aku jadi serius seni-senian, taunya sekarang iya.. hahaha. 

Setelahnya aku kuliah Seni Patung di STISI (sekarang Telkom University). Kirain wacana soal tubuh ini akan berakhir di kelas tersebut. Ternyata kelasnya diawali dengan bikin figur orang 1:1, bikin penasaran soal anatomi tubuh manusia dan jadi berteman sama anak-anak kedokteran. Di semester awal dosenku waktu itu mengajari cara megerjakan patungnya adalah bercermin sambil meraba, kemudian hasil rabaan itu ditransformasikan ke tanah liat. Dari situ aku sadar, bahwa melihat bisa banyak menipu, mata memiliki kemungkinan berilusi saat menangkap visual. Ternyata rabaan membuat aku ‘melihat’ tubuh menjadi berbeda, aku jadi belajar tentang batas-batas kemampuan tubuh.  Semakin dalam lagi karena selanjutnya adalah bikin patung yang sedang begerak, jadi belajar sistem kerja otot dan syaraf. Terus berlanjut lagi bikin patung distorsi tubuh (physical/permukaan maupun gerak).

Trus bertahun-tahun kemudian ikut performer studio Teater Garasi. Dari berbagai materi salah satunya aku kenalan sama PGB (Persatuan Gerak Tubuh/Bangau Putih), saat itu kesulitan aku pada gerak yang banyak mendekat ke tanah/lantai (misal latihan awal dimulai dari 'geseran': melangkah kecil/lebar & dimana seluruh permukaan telapak kaki menempel di tanah). Belajar membawa beban tubuh kebawah dengan lutut semplak (pernah cedera waktu jadi atlit senam). Efek paling signifikan selain cedera lutut perlahan menghilang,  aku jadi jarang jatuh, pernah jongkok di WC duduk pakai sepatu licin trus kpleset, bukannya nyium tanah tapi mendarat cantik berpose kuda-kuda.. hahahaha.

Kesimpulan singkatnya PGB bergerak dimana tubuh menyerap gravitasi, sementara Senam Ritmik melawan gravitasi. 

Kembali ke Butoh.. Kelas kala itu lebih menerangkan ideologi Butoh, Yoshito banyak memancing imajinasi kami dibanding mengatur bagaimana kami harus bergerak. Dia banyak berbagi mengenai apa saja pengalaman tubuhnya, apa yang dia rasakan hidup di Jepang dengan berbagai kejadian. Peserta di kelas tersebut juga dari beragam usia dan latar belakang, hal ini menjadi menarik karena semua orang gerakannya berbeda.

Dari berbagai bagian yang diajarkan di kelas tersebut, diantaranya adalah bergerak sambil membayangkan biji yang tumbuh menjadi bunga, terus tumbuh menyongsong matahari, mekar wangi merekah, kemudian layu lantas mati, masuk dalam tanah. Atau bagian lain adalah bergerak sambil membayangkan menjadi angin, menjauh dari bumi, merangkul bumi, bumi diangkat sama kedua tangan, dari terasa sangat ringan sampai menjadi sangat berat, dst..  

Saat itu berjam-jam di kelas tidak terasa, malah jadinya kaya abis over-dosis meditasi. Bahkan di kereta kesadaranku belum penuh, tubuh rasanya melayang. Efek setelah kelas, selain semakin meyakini soal ephemerality (ke-tidak-abadi-an).. aku bahagia karena kelas yang banyaknya mengolah imajinasi, membuat tubuhku bertemu titik tengah gravitasi (dari serap dan lawan gravitasi).

Nulis ini gegara baca tulisan Okty Budiati.