Popular Posts

Showing posts with label video. Show all posts
Showing posts with label video. Show all posts

Dec 17, 2016

The Longest Running - Rewind Art 15

Hal yang paling menempel di kepala dari Rewind Art adalah bagaimana peristiwa yang mereka kelola berhasil untuk bertahan cukup lama. Bisa dibilang Rewind Art sebagai The Longest Running (performance art) Community Festival di Indonesia.

Memang ada banyak festival performance art yang berlangsung sepanjang tahun 2000an, beberapa bertahan lantas menghilang, beberapa sedang vakum. Tentu saja Rewind Art bukan satu-satunya, kini ada beberapa festival tahunan yang masih berlangsung di Indonesia, yang juga tak kalah menariknya.

citra poster diambil dari FB Rewind Art
Rewind Art lahir di IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Jakarta. IKIP perguruan tinggi yang khusus menyelenggarakan disiplin ilmu pendidikan. IKIP tidak hanya di ibu kota Jakarta, tetapi tersebar sebanyak 18 institusi negeri maupun swasta di berbagai daerah di Indonesia (Medan, Padang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Bali, Menado, Makasar, Gorontalo, Purworejo, Tuban).

Kesemuanya lahir sejak 1950 - 1960an, kemudian berubah menjadi Universitas, dengan maksud untuk memperluas penyelenggaraannya tak hanya tentang pendidikan sejak akhir 90an - awal 2000an. IKIP Jakarta berubah menjadi Universitas Negeri Jakarta, sementara yang lain bisa di telusuri masing-masing berubah nama jadi apa.

kantor Rewind Art 2016 di area gudang Jurusan Seni Rupa - UNJ
Kedua paragraf diatas cukup penting untuk saya jabarkan karena proses berjejaring Rewind Art, tak lepas dari jaringan perguruan tinggi IKIP di Indonesia. Dengan kata lain, walaupun terdapat partisipan berasal dari kota/latar belakang kampus/negara yang berbeda; banyak partisipan festival datang sebagai perwakilan jaringan universitas yang dulunya IKIP tersebut.

Dalam Rewind Art ke 15, beberapa kontingen (Surabaya, Surakarta, Malang) ini sempat presentasi tentang performance art yang mereka lakukan bersama teman-teman dari kampus masing-masing, dimana peristiwanya tak hanya mereka helat dalam kampus. Dengan kata lain pengetahuan saya semakin luas, bahwa banyak sekali pelaku performance art di Indonesia yang tidak diketahui (setidaknya untuk saya sendiri).

foto diambil dari blog Rewind Art
Sejak 90an mahasiswa/i IKIP-Jakarta Fakultas Bahasa dan Seni, kerap melakukan peristiwa ketubuhan (entah namanya sudah performance art/apapun), dilakukan secara individu maupun bersama, dan berkala.

Mereka mengerjakannya merespon kegiatan dalam kampus, seperti orientasi mahasiswa baru, perayaan wisuda, tugas sekolah, memprotes kebijakan kampus, dll. Maupun merespon kejadian di luar kampus, memprotes kebijakan pemerintah, merayakan hari Kartini/Pendidikan, galang dana setelah terjadi bencana di suatu kota.

Menurut pengamatan saya, peristiwa-peristiwa inilah yang membuat mereka membuka diri lebih luas lagi, kemudian tahun 2001 memutuskan ada peristiwa tahunan yang diberi nama Rewind Art.

makan bareng, malam sebelum hari-H
Pengelolaan Rewind Art berlangsung turun temurun, dimana alumni/pengelola sebelumnya akan menjadi pendamping, serta didukung oleh kampus. Beberapa nama yang dulu menyelenggarakan kini sering wara-wiri di dunia seni luar kampus, entah menjadi guru seni atau terjun langsung di dunia kesenian yang lebih umum; beberapa dari mereka adalah Arief 'nganga' Darmawan, Agus Jemat, M. Sigit Budi Santoso, Ridwan Rau-Rau, dan Mohamad Haryo Hutomo.

Pengelola atau panitianya senantiasa oleh mahasiswa muda, untuk kali ke 15 ini dikelola oleh para mahasiswa angkatan 2015, dibantu angkatan 2016; dimana Salman Khalid (SR-UNJ 2015) menjadi ketua pelaksana, dan Ridwan Rau-Rau menjadi pendamping.

Salman Khalid, ketua panitia Rewind Art ke 15
Sesuai dengan namanya sebagai Community Festival, seluruh kebutuhan selama festival berlangsung, dikerjakan kroyokan. Peralatan rekam yang memadai, sampai alat untuk melihat video/live streaming dipinjamkan dari kampus. Peralatan lain seperti sound-system, lampu kelap-kelip meminjam dari Serrum (yang juga didirikan dan didirikan oleh alumni UNJ).

Berbagai kebutuhan partisipan untuk tampil juga dikerjakan bersama-sama oleh para panitia, begitupun setelah semua penampilan, mereka akan membersihkan kembali seperti sedia-kala. Seluruh pertanggung-jawaban selama acara berlangsung, ditanggung oleh para mahasiswa muda ini.

beberes
Mereka jugalah yang merencanakan hendak membentuk acara yang bagaimana, tidak tampak adanya kekuasaan 'para senior' yang membebani kebebasan mereka bergerak. Saya segera membayangkan betapa beruntungnya para mahasiswa sudah mengalami cara mengelola, dan bertanggung jawab atas sebuah peristiwa kesenian yang lumayan besar ini sejak dini, sementara jaman saya masih mahasiswa tidak demikian.

I. Performance art lecture, diskusi, workshop singkat
(judul ini mengambil dari caption Dwinanda Agung Kristianto)

Diskusi dimulai setelah pembukaan di selasar gedung Pusat Studi & Sertifikasi Guru. Diawali dengan pidato pembukaan oleh Ketua Jurusan, dilanjutkan dengan deretan sambutan dari Ridwan Rau-rau sebagai kurator, dilanjut dengan Salman Khalid. Kemudian diskusi bersama saya.

Tidak ada tema yang spesifik diminta oleh Rau-rau maupun Salman saat meminta saya mengampu diskusi, mereka hanya bilang berbagi saja pengalaman performance art yang selama ini saya kerjakan. Hanya saja Rau-rau berkali-kali menekankan bagaimana agar forumnya tidak monoton/tidak kaku.

sambutan Rau-rau di pembukaan
Maka mengikuti pesan Rau-rau, saya pikir cara ternyaman adalah membuat seluruh peserta bergerak. Apalagi para peserta yang ikutan diskusi, 75%-nya adalah mahasiswa angkatan pertama. Saya berharap untuk mampu membagi sesuatu yang sejak dini dapat dipahami, tidak terlalu jauh membahas sesuatu yang akhirnya menjadi terbuang percuma.

diambil dari FB Dwinanda Agung Kristantio
Hal pertama yang saya lakukan adalah mengubah format ruang yang kaku. Para peserta saya ajak mengikuti gerak saya, dari bangun-balik badan-lantas melipat kursi dan meletakannya di satu pojok. Mengajak semua orang pindah ke sudut ruang, menganjurkan mereka untuk meletakan tas bersama di satu pojok.

Disuatu sudut menggunakan spidol hitam boardmarker di dinding keramik, saya menuliskan nama dan sedikit menyatakan sejak kapan, serta sudah kemana saja saya menggeluti performance art. Kemudian semua orang saya ajak untuk membuat lingkaran, bergandengan, kemudian berbaring terlentang di lantai.

diambil dari FB Dwinanda Agung Kristantio
Selama berbaring mereka saya ajak dengan singkat meregangkan tubuh, diawali dengan sedikit menggerakan ujung jari kaki-lutut-pinggang-tangan-bahu-leher-kepala, mengobrol dengan semua bagian tersebut. Sebagaimana yang saya sampaikan di forum, gerak ini saya ambil dari pengalaman dikelas Yudi Ahmad Tajudin ketika Aktor Studio di Teater Garasi.

Saya rasa mengobrol dengan bagian tubuh ini cukup penting untuk mendeteksi dan kenalan dengan tubuh sendiri. Cara yang kayanya lebih mudah dicerna, daripada menjelaskan panjang lebar tentang apa itu tubuh menurut persepsi/pengalaman/temuan saya.

Setelahnya ada pertanyaan dari Ari Adipurwawidjana, dia bertanya bagaimana kalau beraksi di dapur sendirian, apakah itu juga termasuk performance?

Pertanyaan ini lagi-lagi mengingatkan saya pada kelas Aktor Studio, kali ini kelas Matriks Akting oleh Ugoran Prasad. Satu pernyataan yang paling saya ingat adalah: kita semua berakting, bahkan ketika sendirian berkaca dalam kamar-mandi.

Jadi jawabannya bagaimana kita menjuduli aksi kita. Mau didalam lemari maupun di tengah hutan, bila kesadarannya 'menjuduli aksi' tertentu tersebut dari bagian kecil yang kita lakukan --kebetulan kali ini judulnya performance art--, saya kira bisa jadi jawabannya "iya, itu performance art" dan "tidak, saya cuma masak biasa didalam dapur."

foto diambil dari FB Rewind Art
Kemudian berlanjut dengan pertanyaan Okty Budiati, dia bertanya apa pendapat saya tentang "teks dalam tubuh?".. saya tidak langsung menjawabnya, tetapi kelas diajak untuk bubar dari lingkaran, mengumpul ke satu titik menghadap satu tiang besar di tengah ruangan. Ditiang tersebut saya menuliskan sedikit poin-poin dari peristiwa yang terjadi sebelumnya di ruangan tersebut. Trus menulis PA (menyingkat performance art), ruang, waktu, audience.

Saya putuskan untuk tidak menjawab pertanyaan Okty, tetapi melemparkan pertanyaan tentang apa itu PA ke para peserta diskusi. Saya sempat membisikan ke Okty, nanti kita bisa diskusi lebih lanjut soal ini, kini kita coba lihat apa yang ada di sebagian besar benak peserta diskusi.

foto diambil dari FB Rewind Art
Karena mereka kebanyakan diam, maka saya keliling mendekat ke mereka satu-persatu. Bertanya lebih dekat tentang apakah yang secara tiba-tiba melintas di kepala mereka, bila ditanya apa saja yang ada dalam PA.

Akhirnya beberapa secara acak, saling menyatakan kata-kunci yang ada di benak mereka. Saya duduk berpindah di antara peserta, kemudian satu-persatu maju menuliskan apa yang ada di benak mereka di tiang keramik tersebut. Kemudian setelahnya ada yang bertanya tentang apa yang tercantum di tiang. Saya akan meminta Sang-penulis yang mencantumkan menjelaskan, baru kemudian saya elaborasi.

Sampai ada yang membisiki waktu saya tinggal 5 menit, saya ajaklah semuanya untuk kembali berdiri, bertepuk tangan agak lama, memutar-mutar tubuh mereka. Saya jelaskan pada mereka bahwa hal ini saya dapat dari Ben Fox, seorang pemain sirkus asal Australia yang pernah melakukan ini di sebuah forum. Alasannya agar forum tidak kaku, dan membangun atmosfir yang hangat setelah lama mendengarkan sesuatu.

Sementara bertepuk tangan saya dapat saat nyasar ke pertemuan produk MLM, rasanya seperti memberi penghargaan kepada diri, sebagaimana saya ingin seluruh peserta menghargai diri mereka, menghargai kehadiran dalam suatu ruang dan waktu tertentu.

kata kunci yang ditulis bersama
Terakhir sekali, menutup forum bersama saya tersebut, mereka saya ajak bermain imajinasi. Mengangkat satu tangan, berdadah-dadah. Seolah mendadahi teman yang sedang diujung gunung. Lantas menunduk seolah mencari duit yang jatuh dari kantung. Ataupun akhirnya merasa senang karena ada transfer nyasar ke akun pas lagi lihat ATM. Bab imajinasi sendiri saya dapat dari Theodorus Christanto. Bagaimana suatu imajinasi bisa membawa kita kepada temuan-temuan yang tak berbatas dalam berkarya.

II. Rangkaian penampilan langsung

daftar penampil hari 1
Ada banyak sekali penampilan langsung yang hadir selama dua hari tersebut. Hari pertama lebih sedikit dibanding hari ke dua. Kesemuanya memiliki cara tampil yang berbeda, seluruh 'gaya' yang kerap saya temui diberbagai festival ada disini.

daftar penampil hari 2
a//
Seandainya kamu pernah melihat karya performance art yang ditampilkan langsung, silahkan tebak dan sebutkan apa saja yang mungkin akan hadir, kala sekumpulan performer diajak performance art; saya yakin pasti ada yang muncul disini sesuai dengan tebakan kamu.

Pertama performance art menggunakan cairan merah/cat merah. Misalkan penampilan Wira Abdi Mulya, Komet Radenroro, serta penampilan saya bersama teman-teman UNJ. Penampilan pertama oleh Wira Abdi Mulya dari Surabaya, di area dekat pintu masuk gedung F, dibawah segitiga bambu yang dibuat teman-teman UNJ.

wajah Wira sehabis perform
Wira tampil diawali dengan mengganti pakaian sehari-hari dengan setelan jas-dasi-celana hitam, kemudian mengecat wajahnya berwarna merah dan putih. Lantas dia menabur beras di tampah anyaman bambu. Menggosok-gosok mukanya, menjungkir balikan badan, memakan beras yang dia tabur.

penampilan Komet, foto oleh Bocor
Penampilan Komet Radenroro dari Bandung, diatas panggung permanen di pekarangan gedung F-SRUNJ. Komet muncul dengan kostum dan kain putih-putih, membawa kepala manekin. Lantas carian merah menggenang di panggung, mata manekin di bor lantas ditusuk gunting hitam/pisau. Cairan menyerap pada seluruh kostumnya, semua berubah menjadi merah.

penampilan bersama, foto oleh Bocor
Sementara saya berkarya bersama empat orang lain, meninggalkan ruang yang penuh dengan cairan merah. Mereka yang tampil bersama saya adalah Angga 'Acip' Cipta (alumni SRUNJ) karya video dan suara. Sakinah Alatas (mahasiswa SRUNJ - 2012) memakai kerudung hitam dan cadar miliknya. Kemudian Yoenathan Dwi 'Ijong' Pangestu (mahasiswa Tari UNJ - 2013), dan Rachel Roselyn (Jurusan Seni Rupa UNJ - 2015), yang menguasai tari Hip hop. Kami membicarakan rencana keseluruhan penampilan beberapa minggu sebelum festival berlangsung.

Tawaran isunya adalah bagaimana saya memandang perayaan apapun sama, misalkan rave party di Ancol sama saja dengan kumpul demo di Monas. Kami juga mendengarkan lagu Justin Bieber: Sorry, Company, Where are ü now, What do you mean. Lagu-lagu ini juga di mix live sama Acip bersama suara-suara perayaan keagamaan lainnya.

foto diambil dari FB Rewind Art
Penampilan bersama kami tidak memiliki banyak kesepakatan, tawarannya adalah merespon apapun yang terjadi di dalam ruang selama 26 menit, dengan menari dan mengajak orang-orang untuk turut serta. Ruangan sendiri dibagi dua menggunakan kain hitam, pembagian ini berdasarkan gender perempuan dan laki-laki; lantas kemudian pembatas ini hilang ditengah penampilan.

Bantal sebanyak 20 buah ditaruh acak di lantai, ketika di banting dia akan mengeluarkan cairan merah. Bantal idenya seperti alat menuju mimpi, mimpi yang naif berharap keberagaman pemeluk/kepercayaan/keagamaan bisa anteng saling berdampingan tanpa konflik.

b//
Selanjutnya yang juga kerap ditemui dalam performance art adalah penampilan yang memakan waktu cukup panjang. Jenis penampilan yang membebaskan orang-orang untuk tidak terus melihat, ditimpa dengan penampilan lain, atau senantiasa dikerjakan dengan laku yang statis/tidak banyak bervarisai/berulang.

penampilan Impho
Misalkan penampilan Indra 'Impho' Prayhogi dari Surabaya, yang dilakukan sore hari kala langit mulai mendung. Dia duduk di meja, piring-sendok dan wadah berisi sop, serta terdapat 3 kursi kosong. Dia menulis satu persatu huruf kapital diatas kertas putih A4, lantas menempelkannya di tembok belakang kursi-meja tersebut. Disana dia mencantumkan AREA BEBAS DISKUSI SENI. 

Lantas Indra mengajak 3 orang untuk ikut duduk dan makan bersamanya. Hujan mulai turun, Indra tak bergeming, begitupun ketiga-orang yang duduk bersamanya. Perlahan mereka semua mulai melepaskan sepatu, isi kantung (hape/dompet/rokok),  baju, celana, tas untuk diselamatkan dari basahnya hujan. Hujan semakin deras, sop tercampur air hujan.. mereka terus mengobrol dan berbasah-basah memakan sop tercampur air hujan tersebut.

penampilan panjang Kelvin & Azziz
Sementara lainnya ada Kelvin Atmadibrata dan Aziz yang mendorong pintu terbalik bersisian. Mereka terus menerus melakukan aksi tersebut bersamaan dengan penampilan beberapa performer lain. Kelvin dan Aziz saling mendorong pintu berujung melengkung tersebut, disebelah patung yang ada didepan gedung E-FBS (Fakultas Bahasa dan Seni).

Sementara Kelvin dan Azziz masih mendorong pintu, Entri Soemantri (alumni UPI/Universitas Pendidikan Indonesia/IKIP-Bandung) dari Sukabumi memulai penampilannya diatas panggung hijau permanen.

c//
Melilit wajah/bagian tubuh lain, entah dengan tali atau lakban juga sering kita temui. Entah berupa lilitan yang tidak benar-benar mengikat penampilnya, atau yang benar-benar mengikat tubuh. Beberapa penampilan seperti ini diantaranya..
penampilan Ricky
Ricky Unik dari Jakarta, di area bawah pohon seni. Ricky menyangkutkan tanaman merambat ke tubuhnya, beserta sampah yang terbawa. Mengangkat kakinya, bergerak kesana-kemari.

penampilan Indra & Kokoh
Penampilan malam hari dengan banjir merendam halaman gedung F-UNJ, katanya kali ini mending karena banjir tidak sampai merendam area lantai dasar gedung. Ternyata kondisi tersebut tidak menghentikan rangkaian penampilan. Diantaranya penampilan Indra dan Kokoh (mahasiswa UNJ), dimana sebuah kursi diletakan ditengah banjir, seorang duduk memegang payung.

Kemudian seorang lain menghampiri melilitkan lakban kertas ditangan yang memegang payung, menempelkan rokok di mulut orang yang duduk. Tentu saja rokok ini tidak hidup, karena basah. Setelah duduk sekian detik, lantas mereka pun selesai.

d//
Rangkaian penampilan yang mempertaruhkan kekuatan tubuh. Membiarkan kejadian berlangsung dengan resiko bisa menyakiti tubuh, tubuh yang kerap berlatih untuk akrobat, ataupun membuat bagian tubuh lain secara otomatis berubah.

Terdapat artikel khusus yang menuliskan tentang kesakitan dalam laku performance art,  artikelnya di tautan ini. Atau kalau menelusuri blog Rewind Art, kita juga akan melihat beberapa penampilan di tahun-tahun sebelumnya, yang membawa nafas yang serupa.

penampilan Entri
Entri Sumantri dari Sukabumi, berdiri tepat dikolong sebuah perancah merah beroda, melumuri lem diwajahnya, memakai sarung tangan, dan mengulur gulungan benang ke tubuh, menendang-nendang tiang perancah. Gulungan benang dia masukan kedalam mulut, lantas berdiri dengan kaki terbuka dan memegang tiang perancah.

Saya rasa bila melakukan tindak yang sama, rahang saya akan sangat pegal atau sakit, jangan-jangan bisa menyebabkan cedera. Penampilan lainnya adalah penampilan yang mengingatkan saya, saat beberapa kali bekerja untuk acara performance art. Ingatannya adalah untuk secara tegas menyatakan, tidak menyediakan tim medis khusus. Mengingat banyak sekali performance art yang cenderung mencelakai diri, namun tidak mempersiapkan tim khusus.

penampilan Ari, foto oleh Bocor.
Kembali ke Rewind Art 15, ada juga penampilan Ari Adipurwawidjana dari Bandung, dia membawa besi-besi yang khusus dia konstruksi menjadi sebuah kotak, dibungkus kain hitam. Beberapa penonton diajak Ari untuk menjaga keseimbangan kosntruksi besi, menggunakan tali putih empat penjuru. Sepanjang penampilannya Ari membicarakan soal gravitasi, bagaimana nasibnya berada ditangan banyak orang untuk menjaganya agar tidak jatuh.

Terdapat aspek lain dalam penampilan Ari, dia bekerja bersama seorang perempuan yang mengelola 3 laptop. Sebuah laptop untuk sambungan Skype dengan anak Ari yang sedang sekolah di Jepang. Sepanjang penampilannya Ari mengobrol dengan anaknya dan orang-orang yang berada di lokasi, kesemua ini juga disambungkan ke sound-system sehingga kami semua bisa mendengarnya. Laptop lain dihubungkan dengan kamera, sebagiamana diawal penampilannya Ari mengelilingi penonton membawa kertas berisi lamat web dan nomor ponselnya, dia mengumumkan bahwa seluruh penampilannya akan disiar langsung. Laptop terakhir berfungsi sebagai controler.

penampilan Swara foto oleh ?

Selain itu ada penampilan Swara, yang berakhir semaput. Dia tiduran, menutup mata dan memakai earphone. Menurut Bocor dan Rau-rau dia mendengarkan I-Doser, sebuah binaural beats yang bisa mensimulasikan keadaan mental tertentu, semacam narkoba digital. Berarti di banyak penampilan performance art yang mencelakai diri, kebanyakan berupa kesakitan yang tampak/bisa dilihat, disini penampilan Swara tak tampak.

Saya jadi bertanya-tanya, apabila penampilannya ini diadakan di ruang gelap, dengan sound-system memadai, dapat membuat semua orang di ruang tersebut pingsan/kejang-kejang?

e//
Ketelanjangan juga biasanya menjadi pilihan favorit para pelaku performance art. Walaupun semakin kesini, di Indonesia semakin sempit ruang yang membolehkan. Memakai kostum adat saja kini harus serba tertutup, apalagi mengatasnakaman kesenian.

foto diambil dari FB Rewind Art
Boang tampil menggunakan meja yang sama dengan Impho, melepas semua pakaiannya. Duduk, kemudian menendang-nendang kursi. Dia tampak marah sekali.

penampilan Okty, foto oleh Bocor
Okty Budiati dari Jakarta, diawali dengan melilitkan kain putih, layaknya cara pakai para biksu. Duduk dihadapan lilin, sambil menyusun kertas terdengar alunan musik Amir Pasaribu. Saat memakai kain inilah, kain tersebut melorot sampai dada.

Kemudian Okty juga berganti pakaian didepan orang-orang, dekat dari lokasi awal dia duduk, kaos hitam lengan panjang dan selana pendek jeans. Kertas-kertas itu kemudian di bagikan ke orang-orang untuk direspon. Sambil duduk bersila kertas yang sudah direspon orang-orang Okty bakar, penampilannya sekilas tampak seperti berdoa. Catatan atas penampilannya dapat di lihat di tautan ini.

f//
Melukis dihadapan orang-orang sepertinya juga yang paling sering muncul. Biasanya tidak serta-merta dinyatakan sebagai performance art, lebih sering dinyatakan sebagai live painting. Seperti penampilan Nurul (mahasiswa UNJ).

penampilan Nurul
Diawal penampilannya, Nurul beberapa kali memutari patung depan gedung FBS-UNJ. Sambil berkeliling Nurul mengucapkan syahadat 'la ilaha illallah', sambil menyeret kotak kayu. Kemudian dia memakai kain jarik coklat, lantas dilanjutkan dengan melukis diatas kanvas.

Ada yang menarik dari lukisannya ini, ketika saya hampiri dan bertanya apa yang dia lukis, dia menjawab 'sedang melukis yang nunggu pohon.' Memang tepat dihadapannya ada pohon seni yang menyatu dengan panggung. Diapun sempat mengajak orang-orang untuk membaca Al-Fatihah, sambil berdiri menghadap pohon, Nurul tampak khusyuk sekali.

**fin**
Tentunya seluruh penampilan yang saya jabarkan diatas, tidak mencakup seluruh seniman yang turut tampil langsung di Rewind Art ke 15. Dua hari tersebut sangat padat, ditambah lagi setiap malam ada pemutaran video maupun siar langsung dari seniman-seniman diluar Jakarta. Diantaranya ada Mohammed Abd Alwasi & Mazin Mamoory dari Irak, Chirantan Mukhopadhya dari India, Enny Asrinawati dari Kalimatan, Inti Pujol dari Argentina, dll.


Sayangnya saya kurang keliling, mengobrol ke para penampil. Apakah yang ada di benak mereka, hal apakah yang ingin mereka utarakan saat tampil? Kenapa melakukan A dan B, apa yang membuat mereka memutuskan suatu benda menjadi propertinya? Apakah pemilihan lokasi tertentu menjadi tiang utama penampilan mereka? Pentingkah satu isu yang mereka junjung, sampai ke orang-orang yang melihat?

Rewind Art Community Festival yang ke 15 yang berlangsung pada 8-9 Desember 2016 membuka mata saya untuk berbagai hal, mematik berbagai pertanyaan yang sampai saya menulis ini belum ketemu jawabannya. Intinya saya merasakan bahwa menyenangkannya Rewind Art adalah membuka peluang terbuka dan sebebas-bebasnya, untuk para seniman mengeksplorasi/menampilkan performance art.

Sep 21, 2014

Calm Explosion

 (scroll down for English)



Adalah sebuah karya instalasi yang bereksperimen pada video performance, objek temuan dan bau-bauan. Karya ini adalah hasil dari sebulan residensi di Theertha International Artists' Collective, Colombo, Sri Lanka. Selama sebulan para seniman residensi berkeliling kota, berdiskusi tentang temuan dan apa saja yang hendak kami angkat menjadi karya. Ketika itu kondisi Colombo sedang tidak enak, banyak bom dan tentara ada dimana-mana, kami yang bukan orang Sri Lanka cenderung tegang menghadapi situasi ini. 

Is an installation work that experimented on video performance, found object and olfactory elements. This work is the result of a month residency in Theertha International Artists' Collective, Colombo, Sri Lanka. During the residency most of the artists go around the town, than discuss the findings and what we are trying to explore for our work. At that time the Colombo conditions are unpleasant, four bomb blasts and soldiers are everywhere, some artists that are not originally from Sri Lanka tend to be very nervous facing this situation.


Setelah dua minggu mengalami kehidupan disana, saya mulai memiliki beberapa ide, namun nyaris kesemuanya tidak memungkinkan untuk terealisasi karena mengalami benturan dengan kondisi kota. Saat itu Theertha tidak menekan kami untuk harus menghasilkan suatu karya, mereka hanya mewajibkan kami untuk presentasi pengalaman. Sampai suatu ketika saya melihat area pembuangan sampah dan mendapatkan ide untuk melakukan performance art disana. Dari ide tempat saya jadi mengumpulkan sampah buangan galeri dan rumah tinggal, untuk kemudian menjadi kesatuan karya di ruang tertutup.

After two weeks there, I started to have some ideas, but almost all of it impossible to be realized because of the condition of the city. Theertha not hoping us to produce a work, they simply require us to do a presentation of our residency experiences. Until one day I saw a garbage disposal area and got the idea to do a performance art there. From this idea than I start to collecting the waste from galleries and our homes, to then become a combination of art work elements in a confined space.


Hal paling utama yang ingin saya kedepankan dalam karya ini adalah tentang kondisi manusia yang hidup dibawah konflik berkepanjangan. Sempat bertemu beberapa orang yang pernah berdemo ketika masih mahasiswa, namun kemudian mereka dibungkam dengan berbagai cara, bahkan kampusnya sempat ditutup. Periode pembungkaman terjadi diberbagai lapisan masyarakat sekitar sepuluh tahun sebelum kedatangan saya. Sehingga ketika saya datang, mereka sudah dalam periode yang tidak aktif. Memilih diam, membiasakan diri dalam situasi seburuk apapun. Semua orang yang saya temui mempunyai pengalaman menjadi korban langsung maupun tidak langsung, entah saudaranya tewas ataupun luka-luka ringan-parah terkena bom. Hal yang paling saya rasakan adalah adanya ketegangan dalam pemilihan sikap diam mereka, bertahan hidup dengan segala kondisi yang ada.

The main thing that I want to say about this work, is about the human condition that live under prolonged conflict. Met some people who've demonstrated when still a student, but then they are repressed to be silenced in many ways, even the government was closed the campus. The repress period occurs in various society, about ten years before my arrival. So that when I come, they are in silence. Choose to keep in silence, as a successful form of self adapting in any situation. All the people I met had the experience of being a victim, directly or indirectly, whether his brother was killed or injured by a bomb blasts. I feel the tension in their silence, a survival matter to accepting all existing conditions.


Di sisi lain, kedatangan saya tepat pada bulan perayaan Waisak. Sebagian besar penduduk Sri Lanka beragama Budha, sehingga perayaan terasa di berbagai sudut kota. Rumah-rumah menawarkan makanan yang mereka masak kepada kami yang lewat. Ketika mendatangi beberapa Wihara, tampak banyak sekali orang yang beribadah dengan khusyuknya. Rumah-rumah mereka juga dihiasi dengan berbagai hiasan ke-Budha-an. Bayangan saya atas betapa damainya Budha pupus ketika bertabrakan dengan kondisi konflik, keduanya hadir bersamaan, begitu dekat, begitu riuh.

On the other hand, i'm there during the month of Vesak celebration. Most of Sri Lankan population are  Buddhist, so the celebration was happen everywhere. The houses offer food for us that passing their places. Lot of peoples devoted in deep prayer at the temple. Their houses are also decorated with various ornaments to Buddha-hood. My imagination on how peaceful Buddhist dashed when it collided with the conditions of conflict, both present together, so close, so boisterous.


Saat saya mendatangi area pasar, saya melihat kebanyakan para perempuan memakai sari. Rambut mereka semua panjang, banyak penjual rambut palsu. Sementara saya yang jalan memakai kaos dan celana pendek malah sempat diludahi seorang pria. Sehingga ketika saya tanya beberapa orang, mereka bilang kalau perempuan bersari dan berambut panjang lebih dihargai, karena mereka biasanya guru atau pegawai pemerintahan. Dari beberapa percakapan kondisi para perempuan juga jauh lebih nyaman di Indonesia, para lelaki jadi terasa lebih berwibawa dan menghargai. Para perempuan merasa lelaki disana tidak suka bila mereka berpendidikan dan bekerja, kecuali kerjaan yang mulia (seperti guru atau di pemerintahan). Apabila mereka aktif, lalu jarang memakai sari dan berambut pendek, akan di cap perempuan tidak benar.  Keperawanan juga hal yang sangat dijunjung tinggi, beberapa suami menyimpan sari putih bekas malam pertama bersama istrinya, karena bercak darah lepas keperawanan menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka. Sari berwarna putih perlambang kesucian, biasanya dipakai untuk ibadah, banyak dipakai kaum Brahmana, juga untuk upacara kematian. Sementara sari berwarna merah dipakai saat perayaan, misalnya pernikahan, menyimbolkan dominasi-gairah-sensualitas; juga dipakai perempuan yang sudah menikah saat meninggal.  

When I went to the market, I saw most of the women wear saris. Mostly in a long hair, but in the same time there are many fake hair sellers. Mean while, I walk on the street wear shirts and shorts, a man spat on me. So when I asked some people, they said that the long-haired female who wear saree are much appreciated, because they are usually teachers or government employees. From several conversations, I also found out the female condition is much more comfortable in Indonesia, make me see the men are more dignified and appreciated to the woman. The women find men there do not like it when they are educated and working, except the noble work (such as a teacher or in government). When they are active, and rarely wear sari and short hair, women will labeled not properly. Virginity is also something very upheld, husband kept the white sari after the first night, because of the bloodstains is a pride for them. White sari symbol of purity, used for worship, much worn by Brahmins, also for funerals. While red sari worn during celebrations, such as marriage, symbolizing dominance-passion-sensuality; also used by females who are already married when they died.


Theertha International Artists' Residency Exhibition
Red Dot Gallery
8 - 17 June 2008
Colombo, Sri Lanka

May 22, 2011

Asian Youth Imagination 2

(please scroll down for English)

AYI2 poster, design by Hanif Ikhwanto
Asian Youth Imagination 2 (AYI2) adalah kelanjutan sebuah event pertama di Jepang yang di inisiasi Kana Fukushima. Kemudian dilanjutkan dan dikurasi oleh Ferial Afiff bersama tim produksi we.are.imagining. 
Ferial in the opening
Kana in the opening
Event ini bukan milik seseorang atau lembaga tertentu. Dibuat dengan maksud mengumpulkan performer muda Asia, membangun jaringan, menjadi pembelajaran secara individu maupun bersama.
Audiences in Lugas area
performance video by Shohei
AYI2 mengambil tajuk "Visual Exhibition Utilizing Performance", dimana masing-masing seniman menampilkan karyanya bersamaan, sehingga terjadi layaknya sebuah pameran dimana penonton dapat memilih siapa yang hendak dilihat. 
Emonk performance
Citra Pratiwi dan Muhammad Lugas Syllabus menampilkan sebuah performans lintas karya instalasi. Rennie Agustine, Redcat, Mochammad Anggawedhaswhara melakukan performan berdurasi panjang dan interaksi penonton. Sisanya menampilkan karya berupa dokumentasi video. Serta ratusan foto dokumentasi performan dari IVAA yang dikordinasi Pitra Hutomo, berupa kumpulan yang jarang sekali ditampilkan kembali.
Lugas performance
video documentation of Midori performance
Dalam AYI2 juga terdapat dua diskusi. Pertama berupa diskusi internal yang sangat intensif dan ketat, mengenai apa saja yang sudah ditampilkan, dari masing-masing seniman, dan pengamatan bersama. Kedua berupa diskusi publik bersama Yustina Neni, Arief Yudi Rahman, Agus Jemat, dan Iwan Wijono yang dikordinasi Fery Oktanio.

Citra Pratiwi area
Asian Youth Imagination 2 (AYI2) is the continuation of a first event in Japan that Kana Fukushima initiate. Then the second event was proceed and curated by Ferial Afiff, together with the production team: we.are.imagining. This event is not owned by someone or institution. Created with the intention of collecting young Asian performers, build networks, as a learning field for individually or together.
performance video by Kim Ji Hee
The theme of AYI2 is "Visual Exhibition Utilizing Performance", which each artist displaying his work at the same time, so there like an exhibition where viewers can choose who want to be seen.  
Redcat performance
Citra Pratiwi and Muhammad Lugas Syllabus shown a performance-installation work. Rennie Agustine, Redcat, Mochammad Anggawedhaswhara perform long durational performance and based on the interaction with audiences.  
Kana performance
 The rest shown a video documentation. And hundreds of photo documentation of performance from IVAA archives, selected a collection who've been rarely displayed by Pitra Hutomo.
Angga performance
There are two discussions. First is internal of what has been shown, from each artist and together observations. Second is the public with Yustina Neni, Arief Yudi Rahman, Agus Jemat, Iwan Wijono coordinate by Fery Oktanio.
video performance by Sapna
video performance by Manggala


AYI2 Participants
Indonesia: Muhammad Lugas Syllabus, Mochammad Anggawedhaswhara, Arief 'Nganga' Darmawan, Rewind Art Community, Rennie 'Emonk' Agustine, Citra Pratiwi, I Made Suryadharma | Taiwan: Cheh 'Redcat' Shih Chun | Japan: Kana Fukushima,
Hiroto Naokatahira, Shohei Nomoto, Midori Backely | Korea: Kim Ji Hee | India: Manggala Anebermath, Sapna.H.S | Myanmar: Moe Satt | Singapore: Anggie Seah.
Made performance
Moe Satt video documentation
AYI2 was held and full support by Jogja Gallery. In cooperation with: Indonesia Visual Art Archive, Karta Pustaka, YORC, HONF, Kotak Hitam, Majalah Gong, Heri Pemad, Theresia Agustina Sitompul. Partners: Mall Galeria, Toko Buku Togamas, Novotel Hotel, Grand Mercure, PT Dakota Cargo, Royal Garden Restaurant, Mall Ambarrukmo Plaza dan Jogja Plaza Hotel. Media: Radio RRI Pro 2 102.5 FM, Jogja TV 48 UHF, Truly Jogja, Kabare Magazine, Kompas, Kedaulatan Rakyat dan Bernas.
video performance by Shohei
Dokumentasi foto oleh Ingra Parandaru, Dwi Rachmanto, dan Kotak Hitam. Publikasi dan pers oleh Theodora Agni.