Popular Posts

Showing posts with label interaction. Show all posts
Showing posts with label interaction. Show all posts

Dec 17, 2016

The Longest Running - Rewind Art 15

Hal yang paling menempel di kepala dari Rewind Art adalah bagaimana peristiwa yang mereka kelola berhasil untuk bertahan cukup lama. Bisa dibilang Rewind Art sebagai The Longest Running (performance art) Community Festival di Indonesia.

Memang ada banyak festival performance art yang berlangsung sepanjang tahun 2000an, beberapa bertahan lantas menghilang, beberapa sedang vakum. Tentu saja Rewind Art bukan satu-satunya, kini ada beberapa festival tahunan yang masih berlangsung di Indonesia, yang juga tak kalah menariknya.

citra poster diambil dari FB Rewind Art
Rewind Art lahir di IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Jakarta. IKIP perguruan tinggi yang khusus menyelenggarakan disiplin ilmu pendidikan. IKIP tidak hanya di ibu kota Jakarta, tetapi tersebar sebanyak 18 institusi negeri maupun swasta di berbagai daerah di Indonesia (Medan, Padang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Bali, Menado, Makasar, Gorontalo, Purworejo, Tuban).

Kesemuanya lahir sejak 1950 - 1960an, kemudian berubah menjadi Universitas, dengan maksud untuk memperluas penyelenggaraannya tak hanya tentang pendidikan sejak akhir 90an - awal 2000an. IKIP Jakarta berubah menjadi Universitas Negeri Jakarta, sementara yang lain bisa di telusuri masing-masing berubah nama jadi apa.

kantor Rewind Art 2016 di area gudang Jurusan Seni Rupa - UNJ
Kedua paragraf diatas cukup penting untuk saya jabarkan karena proses berjejaring Rewind Art, tak lepas dari jaringan perguruan tinggi IKIP di Indonesia. Dengan kata lain, walaupun terdapat partisipan berasal dari kota/latar belakang kampus/negara yang berbeda; banyak partisipan festival datang sebagai perwakilan jaringan universitas yang dulunya IKIP tersebut.

Dalam Rewind Art ke 15, beberapa kontingen (Surabaya, Surakarta, Malang) ini sempat presentasi tentang performance art yang mereka lakukan bersama teman-teman dari kampus masing-masing, dimana peristiwanya tak hanya mereka helat dalam kampus. Dengan kata lain pengetahuan saya semakin luas, bahwa banyak sekali pelaku performance art di Indonesia yang tidak diketahui (setidaknya untuk saya sendiri).

foto diambil dari blog Rewind Art
Sejak 90an mahasiswa/i IKIP-Jakarta Fakultas Bahasa dan Seni, kerap melakukan peristiwa ketubuhan (entah namanya sudah performance art/apapun), dilakukan secara individu maupun bersama, dan berkala.

Mereka mengerjakannya merespon kegiatan dalam kampus, seperti orientasi mahasiswa baru, perayaan wisuda, tugas sekolah, memprotes kebijakan kampus, dll. Maupun merespon kejadian di luar kampus, memprotes kebijakan pemerintah, merayakan hari Kartini/Pendidikan, galang dana setelah terjadi bencana di suatu kota.

Menurut pengamatan saya, peristiwa-peristiwa inilah yang membuat mereka membuka diri lebih luas lagi, kemudian tahun 2001 memutuskan ada peristiwa tahunan yang diberi nama Rewind Art.

makan bareng, malam sebelum hari-H
Pengelolaan Rewind Art berlangsung turun temurun, dimana alumni/pengelola sebelumnya akan menjadi pendamping, serta didukung oleh kampus. Beberapa nama yang dulu menyelenggarakan kini sering wara-wiri di dunia seni luar kampus, entah menjadi guru seni atau terjun langsung di dunia kesenian yang lebih umum; beberapa dari mereka adalah Arief 'nganga' Darmawan, Agus Jemat, M. Sigit Budi Santoso, Ridwan Rau-Rau, dan Mohamad Haryo Hutomo.

Pengelola atau panitianya senantiasa oleh mahasiswa muda, untuk kali ke 15 ini dikelola oleh para mahasiswa angkatan 2015, dibantu angkatan 2016; dimana Salman Khalid (SR-UNJ 2015) menjadi ketua pelaksana, dan Ridwan Rau-Rau menjadi pendamping.

Salman Khalid, ketua panitia Rewind Art ke 15
Sesuai dengan namanya sebagai Community Festival, seluruh kebutuhan selama festival berlangsung, dikerjakan kroyokan. Peralatan rekam yang memadai, sampai alat untuk melihat video/live streaming dipinjamkan dari kampus. Peralatan lain seperti sound-system, lampu kelap-kelip meminjam dari Serrum (yang juga didirikan dan didirikan oleh alumni UNJ).

Berbagai kebutuhan partisipan untuk tampil juga dikerjakan bersama-sama oleh para panitia, begitupun setelah semua penampilan, mereka akan membersihkan kembali seperti sedia-kala. Seluruh pertanggung-jawaban selama acara berlangsung, ditanggung oleh para mahasiswa muda ini.

beberes
Mereka jugalah yang merencanakan hendak membentuk acara yang bagaimana, tidak tampak adanya kekuasaan 'para senior' yang membebani kebebasan mereka bergerak. Saya segera membayangkan betapa beruntungnya para mahasiswa sudah mengalami cara mengelola, dan bertanggung jawab atas sebuah peristiwa kesenian yang lumayan besar ini sejak dini, sementara jaman saya masih mahasiswa tidak demikian.

I. Performance art lecture, diskusi, workshop singkat
(judul ini mengambil dari caption Dwinanda Agung Kristianto)

Diskusi dimulai setelah pembukaan di selasar gedung Pusat Studi & Sertifikasi Guru. Diawali dengan pidato pembukaan oleh Ketua Jurusan, dilanjutkan dengan deretan sambutan dari Ridwan Rau-rau sebagai kurator, dilanjut dengan Salman Khalid. Kemudian diskusi bersama saya.

Tidak ada tema yang spesifik diminta oleh Rau-rau maupun Salman saat meminta saya mengampu diskusi, mereka hanya bilang berbagi saja pengalaman performance art yang selama ini saya kerjakan. Hanya saja Rau-rau berkali-kali menekankan bagaimana agar forumnya tidak monoton/tidak kaku.

sambutan Rau-rau di pembukaan
Maka mengikuti pesan Rau-rau, saya pikir cara ternyaman adalah membuat seluruh peserta bergerak. Apalagi para peserta yang ikutan diskusi, 75%-nya adalah mahasiswa angkatan pertama. Saya berharap untuk mampu membagi sesuatu yang sejak dini dapat dipahami, tidak terlalu jauh membahas sesuatu yang akhirnya menjadi terbuang percuma.

diambil dari FB Dwinanda Agung Kristantio
Hal pertama yang saya lakukan adalah mengubah format ruang yang kaku. Para peserta saya ajak mengikuti gerak saya, dari bangun-balik badan-lantas melipat kursi dan meletakannya di satu pojok. Mengajak semua orang pindah ke sudut ruang, menganjurkan mereka untuk meletakan tas bersama di satu pojok.

Disuatu sudut menggunakan spidol hitam boardmarker di dinding keramik, saya menuliskan nama dan sedikit menyatakan sejak kapan, serta sudah kemana saja saya menggeluti performance art. Kemudian semua orang saya ajak untuk membuat lingkaran, bergandengan, kemudian berbaring terlentang di lantai.

diambil dari FB Dwinanda Agung Kristantio
Selama berbaring mereka saya ajak dengan singkat meregangkan tubuh, diawali dengan sedikit menggerakan ujung jari kaki-lutut-pinggang-tangan-bahu-leher-kepala, mengobrol dengan semua bagian tersebut. Sebagaimana yang saya sampaikan di forum, gerak ini saya ambil dari pengalaman dikelas Yudi Ahmad Tajudin ketika Aktor Studio di Teater Garasi.

Saya rasa mengobrol dengan bagian tubuh ini cukup penting untuk mendeteksi dan kenalan dengan tubuh sendiri. Cara yang kayanya lebih mudah dicerna, daripada menjelaskan panjang lebar tentang apa itu tubuh menurut persepsi/pengalaman/temuan saya.

Setelahnya ada pertanyaan dari Ari Adipurwawidjana, dia bertanya bagaimana kalau beraksi di dapur sendirian, apakah itu juga termasuk performance?

Pertanyaan ini lagi-lagi mengingatkan saya pada kelas Aktor Studio, kali ini kelas Matriks Akting oleh Ugoran Prasad. Satu pernyataan yang paling saya ingat adalah: kita semua berakting, bahkan ketika sendirian berkaca dalam kamar-mandi.

Jadi jawabannya bagaimana kita menjuduli aksi kita. Mau didalam lemari maupun di tengah hutan, bila kesadarannya 'menjuduli aksi' tertentu tersebut dari bagian kecil yang kita lakukan --kebetulan kali ini judulnya performance art--, saya kira bisa jadi jawabannya "iya, itu performance art" dan "tidak, saya cuma masak biasa didalam dapur."

foto diambil dari FB Rewind Art
Kemudian berlanjut dengan pertanyaan Okty Budiati, dia bertanya apa pendapat saya tentang "teks dalam tubuh?".. saya tidak langsung menjawabnya, tetapi kelas diajak untuk bubar dari lingkaran, mengumpul ke satu titik menghadap satu tiang besar di tengah ruangan. Ditiang tersebut saya menuliskan sedikit poin-poin dari peristiwa yang terjadi sebelumnya di ruangan tersebut. Trus menulis PA (menyingkat performance art), ruang, waktu, audience.

Saya putuskan untuk tidak menjawab pertanyaan Okty, tetapi melemparkan pertanyaan tentang apa itu PA ke para peserta diskusi. Saya sempat membisikan ke Okty, nanti kita bisa diskusi lebih lanjut soal ini, kini kita coba lihat apa yang ada di sebagian besar benak peserta diskusi.

foto diambil dari FB Rewind Art
Karena mereka kebanyakan diam, maka saya keliling mendekat ke mereka satu-persatu. Bertanya lebih dekat tentang apakah yang secara tiba-tiba melintas di kepala mereka, bila ditanya apa saja yang ada dalam PA.

Akhirnya beberapa secara acak, saling menyatakan kata-kunci yang ada di benak mereka. Saya duduk berpindah di antara peserta, kemudian satu-persatu maju menuliskan apa yang ada di benak mereka di tiang keramik tersebut. Kemudian setelahnya ada yang bertanya tentang apa yang tercantum di tiang. Saya akan meminta Sang-penulis yang mencantumkan menjelaskan, baru kemudian saya elaborasi.

Sampai ada yang membisiki waktu saya tinggal 5 menit, saya ajaklah semuanya untuk kembali berdiri, bertepuk tangan agak lama, memutar-mutar tubuh mereka. Saya jelaskan pada mereka bahwa hal ini saya dapat dari Ben Fox, seorang pemain sirkus asal Australia yang pernah melakukan ini di sebuah forum. Alasannya agar forum tidak kaku, dan membangun atmosfir yang hangat setelah lama mendengarkan sesuatu.

Sementara bertepuk tangan saya dapat saat nyasar ke pertemuan produk MLM, rasanya seperti memberi penghargaan kepada diri, sebagaimana saya ingin seluruh peserta menghargai diri mereka, menghargai kehadiran dalam suatu ruang dan waktu tertentu.

kata kunci yang ditulis bersama
Terakhir sekali, menutup forum bersama saya tersebut, mereka saya ajak bermain imajinasi. Mengangkat satu tangan, berdadah-dadah. Seolah mendadahi teman yang sedang diujung gunung. Lantas menunduk seolah mencari duit yang jatuh dari kantung. Ataupun akhirnya merasa senang karena ada transfer nyasar ke akun pas lagi lihat ATM. Bab imajinasi sendiri saya dapat dari Theodorus Christanto. Bagaimana suatu imajinasi bisa membawa kita kepada temuan-temuan yang tak berbatas dalam berkarya.

II. Rangkaian penampilan langsung

daftar penampil hari 1
Ada banyak sekali penampilan langsung yang hadir selama dua hari tersebut. Hari pertama lebih sedikit dibanding hari ke dua. Kesemuanya memiliki cara tampil yang berbeda, seluruh 'gaya' yang kerap saya temui diberbagai festival ada disini.

daftar penampil hari 2
a//
Seandainya kamu pernah melihat karya performance art yang ditampilkan langsung, silahkan tebak dan sebutkan apa saja yang mungkin akan hadir, kala sekumpulan performer diajak performance art; saya yakin pasti ada yang muncul disini sesuai dengan tebakan kamu.

Pertama performance art menggunakan cairan merah/cat merah. Misalkan penampilan Wira Abdi Mulya, Komet Radenroro, serta penampilan saya bersama teman-teman UNJ. Penampilan pertama oleh Wira Abdi Mulya dari Surabaya, di area dekat pintu masuk gedung F, dibawah segitiga bambu yang dibuat teman-teman UNJ.

wajah Wira sehabis perform
Wira tampil diawali dengan mengganti pakaian sehari-hari dengan setelan jas-dasi-celana hitam, kemudian mengecat wajahnya berwarna merah dan putih. Lantas dia menabur beras di tampah anyaman bambu. Menggosok-gosok mukanya, menjungkir balikan badan, memakan beras yang dia tabur.

penampilan Komet, foto oleh Bocor
Penampilan Komet Radenroro dari Bandung, diatas panggung permanen di pekarangan gedung F-SRUNJ. Komet muncul dengan kostum dan kain putih-putih, membawa kepala manekin. Lantas carian merah menggenang di panggung, mata manekin di bor lantas ditusuk gunting hitam/pisau. Cairan menyerap pada seluruh kostumnya, semua berubah menjadi merah.

penampilan bersama, foto oleh Bocor
Sementara saya berkarya bersama empat orang lain, meninggalkan ruang yang penuh dengan cairan merah. Mereka yang tampil bersama saya adalah Angga 'Acip' Cipta (alumni SRUNJ) karya video dan suara. Sakinah Alatas (mahasiswa SRUNJ - 2012) memakai kerudung hitam dan cadar miliknya. Kemudian Yoenathan Dwi 'Ijong' Pangestu (mahasiswa Tari UNJ - 2013), dan Rachel Roselyn (Jurusan Seni Rupa UNJ - 2015), yang menguasai tari Hip hop. Kami membicarakan rencana keseluruhan penampilan beberapa minggu sebelum festival berlangsung.

Tawaran isunya adalah bagaimana saya memandang perayaan apapun sama, misalkan rave party di Ancol sama saja dengan kumpul demo di Monas. Kami juga mendengarkan lagu Justin Bieber: Sorry, Company, Where are ü now, What do you mean. Lagu-lagu ini juga di mix live sama Acip bersama suara-suara perayaan keagamaan lainnya.

foto diambil dari FB Rewind Art
Penampilan bersama kami tidak memiliki banyak kesepakatan, tawarannya adalah merespon apapun yang terjadi di dalam ruang selama 26 menit, dengan menari dan mengajak orang-orang untuk turut serta. Ruangan sendiri dibagi dua menggunakan kain hitam, pembagian ini berdasarkan gender perempuan dan laki-laki; lantas kemudian pembatas ini hilang ditengah penampilan.

Bantal sebanyak 20 buah ditaruh acak di lantai, ketika di banting dia akan mengeluarkan cairan merah. Bantal idenya seperti alat menuju mimpi, mimpi yang naif berharap keberagaman pemeluk/kepercayaan/keagamaan bisa anteng saling berdampingan tanpa konflik.

b//
Selanjutnya yang juga kerap ditemui dalam performance art adalah penampilan yang memakan waktu cukup panjang. Jenis penampilan yang membebaskan orang-orang untuk tidak terus melihat, ditimpa dengan penampilan lain, atau senantiasa dikerjakan dengan laku yang statis/tidak banyak bervarisai/berulang.

penampilan Impho
Misalkan penampilan Indra 'Impho' Prayhogi dari Surabaya, yang dilakukan sore hari kala langit mulai mendung. Dia duduk di meja, piring-sendok dan wadah berisi sop, serta terdapat 3 kursi kosong. Dia menulis satu persatu huruf kapital diatas kertas putih A4, lantas menempelkannya di tembok belakang kursi-meja tersebut. Disana dia mencantumkan AREA BEBAS DISKUSI SENI. 

Lantas Indra mengajak 3 orang untuk ikut duduk dan makan bersamanya. Hujan mulai turun, Indra tak bergeming, begitupun ketiga-orang yang duduk bersamanya. Perlahan mereka semua mulai melepaskan sepatu, isi kantung (hape/dompet/rokok),  baju, celana, tas untuk diselamatkan dari basahnya hujan. Hujan semakin deras, sop tercampur air hujan.. mereka terus mengobrol dan berbasah-basah memakan sop tercampur air hujan tersebut.

penampilan panjang Kelvin & Azziz
Sementara lainnya ada Kelvin Atmadibrata dan Aziz yang mendorong pintu terbalik bersisian. Mereka terus menerus melakukan aksi tersebut bersamaan dengan penampilan beberapa performer lain. Kelvin dan Aziz saling mendorong pintu berujung melengkung tersebut, disebelah patung yang ada didepan gedung E-FBS (Fakultas Bahasa dan Seni).

Sementara Kelvin dan Azziz masih mendorong pintu, Entri Soemantri (alumni UPI/Universitas Pendidikan Indonesia/IKIP-Bandung) dari Sukabumi memulai penampilannya diatas panggung hijau permanen.

c//
Melilit wajah/bagian tubuh lain, entah dengan tali atau lakban juga sering kita temui. Entah berupa lilitan yang tidak benar-benar mengikat penampilnya, atau yang benar-benar mengikat tubuh. Beberapa penampilan seperti ini diantaranya..
penampilan Ricky
Ricky Unik dari Jakarta, di area bawah pohon seni. Ricky menyangkutkan tanaman merambat ke tubuhnya, beserta sampah yang terbawa. Mengangkat kakinya, bergerak kesana-kemari.

penampilan Indra & Kokoh
Penampilan malam hari dengan banjir merendam halaman gedung F-UNJ, katanya kali ini mending karena banjir tidak sampai merendam area lantai dasar gedung. Ternyata kondisi tersebut tidak menghentikan rangkaian penampilan. Diantaranya penampilan Indra dan Kokoh (mahasiswa UNJ), dimana sebuah kursi diletakan ditengah banjir, seorang duduk memegang payung.

Kemudian seorang lain menghampiri melilitkan lakban kertas ditangan yang memegang payung, menempelkan rokok di mulut orang yang duduk. Tentu saja rokok ini tidak hidup, karena basah. Setelah duduk sekian detik, lantas mereka pun selesai.

d//
Rangkaian penampilan yang mempertaruhkan kekuatan tubuh. Membiarkan kejadian berlangsung dengan resiko bisa menyakiti tubuh, tubuh yang kerap berlatih untuk akrobat, ataupun membuat bagian tubuh lain secara otomatis berubah.

Terdapat artikel khusus yang menuliskan tentang kesakitan dalam laku performance art,  artikelnya di tautan ini. Atau kalau menelusuri blog Rewind Art, kita juga akan melihat beberapa penampilan di tahun-tahun sebelumnya, yang membawa nafas yang serupa.

penampilan Entri
Entri Sumantri dari Sukabumi, berdiri tepat dikolong sebuah perancah merah beroda, melumuri lem diwajahnya, memakai sarung tangan, dan mengulur gulungan benang ke tubuh, menendang-nendang tiang perancah. Gulungan benang dia masukan kedalam mulut, lantas berdiri dengan kaki terbuka dan memegang tiang perancah.

Saya rasa bila melakukan tindak yang sama, rahang saya akan sangat pegal atau sakit, jangan-jangan bisa menyebabkan cedera. Penampilan lainnya adalah penampilan yang mengingatkan saya, saat beberapa kali bekerja untuk acara performance art. Ingatannya adalah untuk secara tegas menyatakan, tidak menyediakan tim medis khusus. Mengingat banyak sekali performance art yang cenderung mencelakai diri, namun tidak mempersiapkan tim khusus.

penampilan Ari, foto oleh Bocor.
Kembali ke Rewind Art 15, ada juga penampilan Ari Adipurwawidjana dari Bandung, dia membawa besi-besi yang khusus dia konstruksi menjadi sebuah kotak, dibungkus kain hitam. Beberapa penonton diajak Ari untuk menjaga keseimbangan kosntruksi besi, menggunakan tali putih empat penjuru. Sepanjang penampilannya Ari membicarakan soal gravitasi, bagaimana nasibnya berada ditangan banyak orang untuk menjaganya agar tidak jatuh.

Terdapat aspek lain dalam penampilan Ari, dia bekerja bersama seorang perempuan yang mengelola 3 laptop. Sebuah laptop untuk sambungan Skype dengan anak Ari yang sedang sekolah di Jepang. Sepanjang penampilannya Ari mengobrol dengan anaknya dan orang-orang yang berada di lokasi, kesemua ini juga disambungkan ke sound-system sehingga kami semua bisa mendengarnya. Laptop lain dihubungkan dengan kamera, sebagiamana diawal penampilannya Ari mengelilingi penonton membawa kertas berisi lamat web dan nomor ponselnya, dia mengumumkan bahwa seluruh penampilannya akan disiar langsung. Laptop terakhir berfungsi sebagai controler.

penampilan Swara foto oleh ?

Selain itu ada penampilan Swara, yang berakhir semaput. Dia tiduran, menutup mata dan memakai earphone. Menurut Bocor dan Rau-rau dia mendengarkan I-Doser, sebuah binaural beats yang bisa mensimulasikan keadaan mental tertentu, semacam narkoba digital. Berarti di banyak penampilan performance art yang mencelakai diri, kebanyakan berupa kesakitan yang tampak/bisa dilihat, disini penampilan Swara tak tampak.

Saya jadi bertanya-tanya, apabila penampilannya ini diadakan di ruang gelap, dengan sound-system memadai, dapat membuat semua orang di ruang tersebut pingsan/kejang-kejang?

e//
Ketelanjangan juga biasanya menjadi pilihan favorit para pelaku performance art. Walaupun semakin kesini, di Indonesia semakin sempit ruang yang membolehkan. Memakai kostum adat saja kini harus serba tertutup, apalagi mengatasnakaman kesenian.

foto diambil dari FB Rewind Art
Boang tampil menggunakan meja yang sama dengan Impho, melepas semua pakaiannya. Duduk, kemudian menendang-nendang kursi. Dia tampak marah sekali.

penampilan Okty, foto oleh Bocor
Okty Budiati dari Jakarta, diawali dengan melilitkan kain putih, layaknya cara pakai para biksu. Duduk dihadapan lilin, sambil menyusun kertas terdengar alunan musik Amir Pasaribu. Saat memakai kain inilah, kain tersebut melorot sampai dada.

Kemudian Okty juga berganti pakaian didepan orang-orang, dekat dari lokasi awal dia duduk, kaos hitam lengan panjang dan selana pendek jeans. Kertas-kertas itu kemudian di bagikan ke orang-orang untuk direspon. Sambil duduk bersila kertas yang sudah direspon orang-orang Okty bakar, penampilannya sekilas tampak seperti berdoa. Catatan atas penampilannya dapat di lihat di tautan ini.

f//
Melukis dihadapan orang-orang sepertinya juga yang paling sering muncul. Biasanya tidak serta-merta dinyatakan sebagai performance art, lebih sering dinyatakan sebagai live painting. Seperti penampilan Nurul (mahasiswa UNJ).

penampilan Nurul
Diawal penampilannya, Nurul beberapa kali memutari patung depan gedung FBS-UNJ. Sambil berkeliling Nurul mengucapkan syahadat 'la ilaha illallah', sambil menyeret kotak kayu. Kemudian dia memakai kain jarik coklat, lantas dilanjutkan dengan melukis diatas kanvas.

Ada yang menarik dari lukisannya ini, ketika saya hampiri dan bertanya apa yang dia lukis, dia menjawab 'sedang melukis yang nunggu pohon.' Memang tepat dihadapannya ada pohon seni yang menyatu dengan panggung. Diapun sempat mengajak orang-orang untuk membaca Al-Fatihah, sambil berdiri menghadap pohon, Nurul tampak khusyuk sekali.

**fin**
Tentunya seluruh penampilan yang saya jabarkan diatas, tidak mencakup seluruh seniman yang turut tampil langsung di Rewind Art ke 15. Dua hari tersebut sangat padat, ditambah lagi setiap malam ada pemutaran video maupun siar langsung dari seniman-seniman diluar Jakarta. Diantaranya ada Mohammed Abd Alwasi & Mazin Mamoory dari Irak, Chirantan Mukhopadhya dari India, Enny Asrinawati dari Kalimatan, Inti Pujol dari Argentina, dll.


Sayangnya saya kurang keliling, mengobrol ke para penampil. Apakah yang ada di benak mereka, hal apakah yang ingin mereka utarakan saat tampil? Kenapa melakukan A dan B, apa yang membuat mereka memutuskan suatu benda menjadi propertinya? Apakah pemilihan lokasi tertentu menjadi tiang utama penampilan mereka? Pentingkah satu isu yang mereka junjung, sampai ke orang-orang yang melihat?

Rewind Art Community Festival yang ke 15 yang berlangsung pada 8-9 Desember 2016 membuka mata saya untuk berbagai hal, mematik berbagai pertanyaan yang sampai saya menulis ini belum ketemu jawabannya. Intinya saya merasakan bahwa menyenangkannya Rewind Art adalah membuka peluang terbuka dan sebebas-bebasnya, untuk para seniman mengeksplorasi/menampilkan performance art.

Dec 6, 2013

Untitled

 scroll down for English..


Dalam karya ini saya berkolaborasi dengan Isa Perkasa. Kami membicarakan masalah lingkungan. Bagaimana kami sebagai manusia, setiap hari menyumbangkan sesuatu yang dapat membahayakan tempat yang kita tinggali. Selain itu kami juga membicarakan beberapa prilaku antar manusia, misalnya mengambil jalan selamat masing-masing, tanpa mempedulikan –bahkan terkadang merugikan—manusia lain.

In this pieces I'm Isa Perkasa collaborators. We talking about environmental issues. How do we do as human beings, how we everyday donating objects that can harm the place we are living. In the other hand we also talks about some of human behaviour, for example, taking their individually path to survive, regardless of –sometimes even harming—another human being.
 

Dalam performans ini kami berjalan sepanjang jalan Ir. H. Juanda, mengenakan pakaian tahan air warna oranye dengan tanda (+) dan (-) dipunggung. Sepanjang jalan Isa Perkasa menyemprotkan pengharum ruangan dan saya membawa bola dunia.
In this performance we were walking along the Ir. H. Juanda street, wearing orange water resistant cloth with a sign (+) and (-) in our backs. Along the way Isa Perkasa spraying air freshener and I brought a globe.



Dago Festival #1
Jl. Ir H Juanda, Bandung
September 28th, 2002

 

Oct 28, 2013

Abortus

 

(scrool down for english)

Performans berdurasi 15 menit ini berkisah tentang prilaku aborsi beberapa orang yang saya temui, tidak bermaksud menyetujui maupun menolaknya. Saya mewawancarai beberapa perempuan untuk mengetahui apa alasannya, dan bagaimana mereka melakukannya. 

Berbagai alasannya adalah.. 
karena takut menghadapi keluarga, tidak siap menjadi orang tua, minimnya pengetahuan pencegahan kehamilan. 
Bagaimana mereka melakukanya.. 
biasanya di klinik ilegal, dimana rata-rata tidak mengedepankan kesehatan tubuh. Hanya menggunakan alat seadanya, organ dalam tidak dibersihkan dengan tuntas. 
Kebanyakan dari mereka tidak memahami dampak masa depan terhadap mental maupun fisik mereka.


This 15 minutes performance is about abortions done by some people I have met, not mean to agree or disagree. 
I interview some female to find the reason and how they do it.
 
The reason behind is.. 
fear of the family, not ready to become parents, 
lack of knowledge of pregnancy prevention.
How they do it.. 
is usually in illegal clinic, which doesn't prioritizing health, only use makeshift tools, internal organs are not cleaned thoroughly.
Most of them don't know the mental and physical impact on their future.
 



Saya memakai gaun putih yang didalamnya terdapat kantung yang saya desain  semirip perut ibu hamil. Dalam kantung tersebut terdapat cairan yang menyerupai darah. Setelah jalan-jalan disekitar lokasi, kemudian saya berdiri di satu titik, mengangkat rok, lantas memecah kantung darah. Sehingga darah buatan tersebut bercucuran melalui kaki saya, berceceran dilantai.

 

I was wearing a long white dress, a pockets contain artificial blood (that I design to be similar to the pregnant belly) was inside it. After walk around the space, I stood at one points, lifting the dress, break down the artificial blood pocket. The fluid streaming down trough my legs and splattered on the floor.


 

Langgeng Gallery, Magelang
20 Maret 2003

Ruang Rupa, Jakarta
24 Mei 2003

Nov 20, 2012

HUMAN RIGHT #2

(please scroll down for English)


Banyak memilih akhirnya menyesatkan, arah telah tertutup jejak. Terkadang arah yang dipilih terlihat sangat jelas, namun sering juga arahnya hilang, sehingga bingung harus memilih jalan yang mana. Masing-masing manusia berhak untuk memilih jalannya.

Choosing too many path ultimately misleading, the trail has been closed. Sometimes the direction that been chosen is obvious, but often the direction is gone, then confused to choose which one. Each human being has the right to vote their way.


AMBULANCE
September 2005
Galeri Nasional, Jakarta
Organized by Performance Klub



Jul 28, 2012

Limelight

[scroll down for English]


Limelight merupakan karya yang ditampilkan bersama seorang pemusik eksperimental, tiga orang mahasiswi dan seorang asisten (yang ketika itu disediakan panitia FOI4 untuk membantu saya produksi). Asisten yang saya dapat kala itu kebetulan seorang fotografer, jadi dia membawa alat khusus untuk flash light. Sementara tiga orang mahasiswi tersebut kala itu belum pernah tampil, tawarannya adalah mereka tampil, tanpa saya beritahu akan diapakan dan bisa meng-intervensi namun tidak boleh keluar ruang.

Tentang bagaimana seseorang menandai orang lain, mengenali orang lain atas persepsi yang ada dalam ingatannya. Bagaimana apabila ketertarikan orang banyak atas yang kita hasilkan, diiringi kepedulian untuk menunjuk kita sebagai objek kesempatan yang datang melaluinya. Bentuk kepedulian ini menjadi mengganggu, seperti mempersempit ruang gerak kita. Apakah mereka benar-benar peduli, atau hanya menjadikan kita objek yang menarik untuk dijinjing kesana-kemari.

Pertanyaannya untuk kedua belah pihak. Bagaimana rasanya menjadi objek yang menarik. Apakah ketika melihat objek yang menarik kita memperdalam pengamatan kita. Jangan-jangan kita tidak benar-benar memperhatikan, hanya menciptakan ilusi atas objek yang kita perhatikan tersebut sehingga menjadi menarik.

Limelight is the work that is displayed alongside experimental musician, three students and an assistant (who was provided by the committee FOI4 to help my production). Assistant that I get happened to be a photographer, so he took a special tool for flash light. While these three students has not been performed, the offer is they performed, without telling them what to do, can either do the intervention but should not be out of performance space.

This is about how someone marking others people, recognize others people on their perceptions that exist in their memory. What if the interest grow a lot on which we produce, than the concern appoint one of us as objects of opportunity that comes through. This kind of concern becomes annoying, such as narrowing the space for us. Does they really care, or simply make us an object of interest to carry here and there.


The question for both sides. How does it feel to be the object of interest. Is seeing interesting objects we deepen our observations. Perhaps we don't really pay attention, just creating the illusion of the object than it becomes interesting.

Penampilan dimulai dari menuntun penonton satu persatu kedalam ruang penampilan. Kursi diletakan berdampingan membentuk huruf U, seperti running stage dalam fashion-show. Sebelum menuntun diumumkan bagi penonton, yang memiliki penyakit jantung dan takut gelap disarankan untuk tidak usah masuk. Setelahnya mereka ditempatkan acak diatas kursi yang disediakan. 

Ketika masuk ruang remang-remang sehingga sulit untuk melihat, mendengar suara musik eksperimental bervolume keras dan berirama tidak teratur. Setelah semua masuk, ketiga mahasiswi dipakaikan kertas kilap dan bubuk kilap glow in the dark secara bergantian. Ditengah bidang memanjang (running stage) ada satu kotak putih (pustek) untuk mereka berpose. Flash menyala acak ke arah tiga mahasiswi, para penonton lain yang membawa kamera juga saya sarankan untuk menyalakan flash-nya.

Penampilan ini secara otomatis bukan penonton melihat saya, tetapi bagaimana saya melihat keseluruhan peristiwa, untuk mencoba langsung pertanyaan-pertanyaan diatas melalui sebuah peristiwa yang saya simulasikan dalam sebuah penampilan. 

The performance start from guiding the spectator one by one into the performance space. Chairs are placed side by side to form the letter U, such as running stage in the fashion-show. Before go inside, it announced for the spectators who have heart disease and the fear of the dark to not have to go in. Afterwards they are placed randomly on the reserved seats.

When entering the space it dimly and difficult to see, hear the sound of loud music and experimental irregular rhythmic. After all entered, the glossy paper and glow in the dark powder applied to the three student. Amid the longitudinal field (running stage) there is a white box (based) for their taking various pose. Flash lights randomly into their direction, the spectators who brought a camera is also recommend to turn the flash on.


This performance is automatically not for the spectators watching the performer, but how do I see the whole happening, to try to direct questions through a happening that I simulated in the performance.


Satu dari tiga mahasiswa tersebut mulai berlarian tidak menentu disekitar penonton. Sampai saya harus menariknya kembali ke tengah kotak putih. Pernyataannya setelah penampilan itu adalah: betapa dia tidak siap berada ditengah pertunjukan, ketika mata semua orang melihatnya. Mahasiswi satunya lagi malah merasa perlu untuk melihat si running stage, untuk melihat bagaimana dan dimana dia berada kala itu. Sementara yang satunya lagi menikmati berada di kotak putih, mengubah pose-nya sesuai dengan arah flash-light.

Sementara di sisi lain penonton tidak benar-benar melihat, karena riuh, gelap, bising. Ada yang tertidur, menutup telinga. Keluar sebelum keseluruhan peristiwa selesai. Beberapa menyatakan betapa marahnya mereka ada didalam situ, tidak bisa melihat dengan jelas dan terganggu, terganggu dengan penampil yang tiba-tiba duduk dipangkuannya atau disebelahnya.

One of the three students started running around the audience. Until I had to pull him back into the middle of the stage. Her statement after that performance is: how he was not ready at the center of the show, when there's a lot of eyes looking at her. The other students even feel the need to look at the running stage, to see how and where she was at that time. While the other enjoys being in a white box, change her pose in accordance with the direction of the flash-light.


Meanwhile on the the spectators did not really get to see, because boisterous, dark, noisy. Some were asleep, covering the ears. Out before the whole happening finishes. Some states how angry they were in there, could not see clearly and disturbed, annoyed when one of the performer suddenly sitting next or on their lap.

Future of Imagination - FOI 4
Theatre Works
Day 3, Saturday, 29 September 2007
Singapore

Jan 23, 2011

COSMOPOLITAN

scroll down for english..

Orang Indonesia meninggalkan budaya tradisi, kemudian bangsa lain menelaah budaya tradisi Indonesia. Kini orang Indonesia memilih bergaya MTV dan minum Cocacola. Sementara bangsa lain memproduksi motif batik, belajar gamelan, dan mengekspor teh serta ramuan herbal Indonesia.

A lot of Indonesian don't want to know the traditional culture, but others learn/observe/research our traditional culture. Indonesian chose the MTV-style and drink Coca cola. While other nations produce batik, studying gamelan, and exporting tea and herbal of Indonesia.
As a collaborator of Isa Perkasa concept
Sundanese Festival
Dago Tea House
Bandung, 2002

Jul 2, 2010

IMITATION 1

scroll down for english...
Karya yang satu ini berhubungan dengan "Imitation 2" dan terus berkembang menjadi "Dry Beauty". Pertanyaan yang sama serta terus terngiang dikepala saya, tentang bagaimana manusia membentuk apa yang tampak, sampai masuk kedalam; tentang bagaimana dirinya ingin dilihat, oleh dirinya sendiri maupun bagaimana bentuk fisik menjadi hal yang utama, perawakan yang ingin ditampilkan dengan harapan orang lain akan melihatnya sesuai dengan bayangannya. Seandainya bunga mawar adalah merah yang diwarnai. Bukan bunga alami, plastik dan dengan segala upaya menjadikannya persis seperti yang alami. Walaupun upaya yang dihadirkan merusak diri sendiri. Perkara ini terus berkembang, sampai ke pertanyaan apakah identitas? Nafas pertama ketika keluar dari rahim ibu, dimana letaknya sekarang setelah puluhan tahun, apakah masih sama? Perlukah untuk sama?

 This piece is associated with "Imitation 2" and keep growing into a "Dry Beauty". About the same question that kept ringing in my head, about how humans form of what they looks like, till it's emerge to the inside; about how he/she wants to be seen, by himself or how the physical form becomes the main thing, certain physical display with the hope that others will see the reflection. If roses it's coloured to red. Instead of natural, it's plastic and with all the efforts made it natural. Although the efforts require to destroy the self. This continues to the wider question, about how the identity is? From the first breath out of the mother's womb, where is it now after decades, is it still the same? Is it need to be the same?
 Runtutan kejadian: saya berjalan ke tengah ruangan, membuka sedikit tirai. Menghadap cermin dan memulas gincu di bibir. Kemudian mengambil mawar plastik, memulas permukaan kelopaknya dengan gincu, terus berulang sampai tampak merah. Menuang cologne dalam mangkok kaca, lantas mawar berlumur gincu merah tersebut dimasukan kedalamnya. Setiap batang yang sudah terendam cologne dimasukan kedalam plastik, kemudian diberikan ke penonton.
 Chronologies: I walked into the centre of the space, opened a bit of the curtain. Facing the mirror and put the lipstick on. Then take a plastic rose, use the lips to applying the lipstick to the petals, repeating until it red. Poured cologne in a bowl, then smeared the red lipstick roses. Each of rod inserted into a plastic bag, then give it to the spectators.
Nippon International Performance Art Festival
Morishita Studio, Tokyo, Japan
Summer, 2005
Organized by NIPAF Excecutive Commite

photos by: Makoto Kondoh, Azusa, Samuel Penanso