Popular Posts

Jun 8, 2014

In The Name of Love

(please scroll down for English)

Sebuah kisah bagaimana cinta bisa menjadi alat, dengan atas namanya seolah semua tindakan adalah mulia. Pada karya ini saya meminjam salah satu pemanfaatan atas rasa ini, yakni bersetubuh. Lebih mulia ketika persetubuhan tersebut dilakukan dengan PSK, selesai pake bayar. Tetapi manusia bisa menggunakan cinta sebagai upaya untuk mendapatkan persetubuhan gratis, lebih malu bayar PSK daripada menipu pasangan bersetubuhnya. Membuai dengan menyalah gunakan rasa cinta, lantas minggat karena sebenarnya hanya ingin ngasih makan nafsu. Nafsu dan persetubuhan manusiawi, tapi menggiring seseorang untuk melakukan sesuatu atas nama kemuliaan rasa cinta adalah tidak manusiawi. Contoh diatas adalah satu yang termudah atas prilaku manusia untuk memanipulasi, agar hasrat dapat terlaksana. Kalau saya perluas lagi, atas nama cinta juga bisa membuat seseorang meledakan seisi kota. 
A story of how love can be a tool, all action seemed noble in the name of it. In this pieces I borrow one of misappropriation of these feeling, which it's sex. More noble when sex was committed with a prostitute, pay after doing it without any harm. But humans could use love as an attempt to get free sex, more embarrassed paid a prostitutes than cheated to the sex partner. Cradles the misuse of love, then disappear after fulfilling the desire. Lust and sex are humane, but lead someone to do something on honouring love is inhumane. That just one of easy example of manipulative human behaviour, to accomplished the desire. If I widening it, someone can blow the whole town in the name of love.
Catatan kaki dalam karya ini adalah ide properti yang muncul dikepala saya, kutang & celana dalam. Akan tetapi saya terganggu ketika sebuah pertunjukan yang memiliki kemungkinan menyibak bagian tubuh tertentu. Penyebabnya adalah pengalaman melihat sebuah performans, dimana pelakunya adalah perempuan, ketika itu beberapa penonton dikanan-kiri saya  heboh dengan keseksian tubuh pelakunya, bukan pertunjukannya. Apalagi performans cukup terkenal rajin menelanjangi tubuh, bahkan dalam berbagai pertunjukan tidak tampak ada alasan yang jelas. Atas ganguan ini maka tantangannya adalah membuka kutang & celana dalam tanpa harus telanjang. 

The footnotes of this work is the idea of ​​that appears as performance properties, brassiere & panties. But I am disturbed when a performance has the possibility of exposing specific body parts. It's because my past experience of watching on a performance, where the performer is female, while the number of spectator on my right and left of me get busy with how sexy is her body, not the performance. Moreover, many of the performances pieces well known for it's nudity, even in some of the performances (that I been watch) has no strong background appear while doing it. For this the challenge is to open the brassiere & panties without exposing my self.
Catatan kaki lainnya adalah bagaimana memancing penonton untuk menyaksikan lebih dekat. Bagaimana menghapus ruang batas penampilan, memprovokasi penonton untuk mengacuhkan batas tersebut. Atau bagaimana saya menciptakan ruang penampilan yang terbuka, sehingga penonton tidak canggung untuk mendekat. Ketika itu satu-satunya cara yang melintas dikepala saya adalah menuliskan kalimat diatas permukaan dipan, tidak menuliskannya sambil berdiri tegak dipapan belakang dipan. Namun tampaknya ekseperimen saya masih belum berhasil, karena penonton baru mendekat setelah saya meninggalkan ruang tampil.

Another footnotes is how to make the spectators being more closer. How to erase the stage boundaries, provoking the audience to ignore the bounds. Or how to created an open space, so the audience is not awkward to be more closer. The only way across my mind during that time is to writes a sentence in the
couchette, not write it down while standing upright on the board behind. But it seems the experimentation haven't succeeded, because the spectators come closer after I left the performance space. 
The 2 nd IAPAO meeting
Rumah Nusantara, Bandung
April 27 th, 2004
(photos taken by Agus Bebeng)