Popular Posts

Dec 17, 2016

The Longest Running - Rewind Art 15

Hal yang paling menempel di kepala dari Rewind Art adalah bagaimana peristiwa yang mereka kelola berhasil untuk bertahan cukup lama. Bisa dibilang Rewind Art sebagai The Longest Running (performance art) Community Festival di Indonesia.

Memang ada banyak festival performance art yang berlangsung sepanjang tahun 2000an, beberapa bertahan lantas menghilang, beberapa sedang vakum. Tentu saja Rewind Art bukan satu-satunya, kini ada beberapa festival tahunan yang masih berlangsung di Indonesia, yang juga tak kalah menariknya.

citra poster diambil dari FB Rewind Art
Rewind Art lahir di IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Jakarta. IKIP perguruan tinggi yang khusus menyelenggarakan disiplin ilmu pendidikan. IKIP tidak hanya di ibu kota Jakarta, tetapi tersebar sebanyak 18 institusi negeri maupun swasta di berbagai daerah di Indonesia (Medan, Padang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Bali, Menado, Makasar, Gorontalo, Purworejo, Tuban).

Kesemuanya lahir sejak 1950 - 1960an, kemudian berubah menjadi Universitas, dengan maksud untuk memperluas penyelenggaraannya tak hanya tentang pendidikan sejak akhir 90an - awal 2000an. IKIP Jakarta berubah menjadi Universitas Negeri Jakarta, sementara yang lain bisa di telusuri masing-masing berubah nama jadi apa.

kantor Rewind Art 2016 di area gudang Jurusan Seni Rupa - UNJ
Kedua paragraf diatas cukup penting untuk saya jabarkan karena proses berjejaring Rewind Art, tak lepas dari jaringan perguruan tinggi IKIP di Indonesia. Dengan kata lain, walaupun terdapat partisipan berasal dari kota/latar belakang kampus/negara yang berbeda; banyak partisipan festival datang sebagai perwakilan jaringan universitas yang dulunya IKIP tersebut.

Dalam Rewind Art ke 15, beberapa kontingen (Surabaya, Surakarta, Malang) ini sempat presentasi tentang performance art yang mereka lakukan bersama teman-teman dari kampus masing-masing, dimana peristiwanya tak hanya mereka helat dalam kampus. Dengan kata lain pengetahuan saya semakin luas, bahwa banyak sekali pelaku performance art di Indonesia yang tidak diketahui (setidaknya untuk saya sendiri).

foto diambil dari blog Rewind Art
Sejak 90an mahasiswa/i IKIP-Jakarta Fakultas Bahasa dan Seni, kerap melakukan peristiwa ketubuhan (entah namanya sudah performance art/apapun), dilakukan secara individu maupun bersama, dan berkala.

Mereka mengerjakannya merespon kegiatan dalam kampus, seperti orientasi mahasiswa baru, perayaan wisuda, tugas sekolah, memprotes kebijakan kampus, dll. Maupun merespon kejadian di luar kampus, memprotes kebijakan pemerintah, merayakan hari Kartini/Pendidikan, galang dana setelah terjadi bencana di suatu kota.

Menurut pengamatan saya, peristiwa-peristiwa inilah yang membuat mereka membuka diri lebih luas lagi, kemudian tahun 2001 memutuskan ada peristiwa tahunan yang diberi nama Rewind Art.

makan bareng, malam sebelum hari-H
Pengelolaan Rewind Art berlangsung turun temurun, dimana alumni/pengelola sebelumnya akan menjadi pendamping, serta didukung oleh kampus. Beberapa nama yang dulu menyelenggarakan kini sering wara-wiri di dunia seni luar kampus, entah menjadi guru seni atau terjun langsung di dunia kesenian yang lebih umum; beberapa dari mereka adalah Arief 'nganga' Darmawan, Agus Jemat, M. Sigit Budi Santoso, Ridwan Rau-Rau, dan Mohamad Haryo Hutomo.

Pengelola atau panitianya senantiasa oleh mahasiswa muda, untuk kali ke 15 ini dikelola oleh para mahasiswa angkatan 2015, dibantu angkatan 2016; dimana Salman Khalid (SR-UNJ 2015) menjadi ketua pelaksana, dan Ridwan Rau-Rau menjadi pendamping.

Salman Khalid, ketua panitia Rewind Art ke 15
Sesuai dengan namanya sebagai Community Festival, seluruh kebutuhan selama festival berlangsung, dikerjakan kroyokan. Peralatan rekam yang memadai, sampai alat untuk melihat video/live streaming dipinjamkan dari kampus. Peralatan lain seperti sound-system, lampu kelap-kelip meminjam dari Serrum (yang juga didirikan dan didirikan oleh alumni UNJ).

Berbagai kebutuhan partisipan untuk tampil juga dikerjakan bersama-sama oleh para panitia, begitupun setelah semua penampilan, mereka akan membersihkan kembali seperti sedia-kala. Seluruh pertanggung-jawaban selama acara berlangsung, ditanggung oleh para mahasiswa muda ini.

beberes
Mereka jugalah yang merencanakan hendak membentuk acara yang bagaimana, tidak tampak adanya kekuasaan 'para senior' yang membebani kebebasan mereka bergerak. Saya segera membayangkan betapa beruntungnya para mahasiswa sudah mengalami cara mengelola, dan bertanggung jawab atas sebuah peristiwa kesenian yang lumayan besar ini sejak dini, sementara jaman saya masih mahasiswa tidak demikian.

I. Performance art lecture, diskusi, workshop singkat
(judul ini mengambil dari caption Dwinanda Agung Kristianto)

Diskusi dimulai setelah pembukaan di selasar gedung Pusat Studi & Sertifikasi Guru. Diawali dengan pidato pembukaan oleh Ketua Jurusan, dilanjutkan dengan deretan sambutan dari Ridwan Rau-rau sebagai kurator, dilanjut dengan Salman Khalid. Kemudian diskusi bersama saya.

Tidak ada tema yang spesifik diminta oleh Rau-rau maupun Salman saat meminta saya mengampu diskusi, mereka hanya bilang berbagi saja pengalaman performance art yang selama ini saya kerjakan. Hanya saja Rau-rau berkali-kali menekankan bagaimana agar forumnya tidak monoton/tidak kaku.

sambutan Rau-rau di pembukaan
Maka mengikuti pesan Rau-rau, saya pikir cara ternyaman adalah membuat seluruh peserta bergerak. Apalagi para peserta yang ikutan diskusi, 75%-nya adalah mahasiswa angkatan pertama. Saya berharap untuk mampu membagi sesuatu yang sejak dini dapat dipahami, tidak terlalu jauh membahas sesuatu yang akhirnya menjadi terbuang percuma.

diambil dari FB Dwinanda Agung Kristantio
Hal pertama yang saya lakukan adalah mengubah format ruang yang kaku. Para peserta saya ajak mengikuti gerak saya, dari bangun-balik badan-lantas melipat kursi dan meletakannya di satu pojok. Mengajak semua orang pindah ke sudut ruang, menganjurkan mereka untuk meletakan tas bersama di satu pojok.

Disuatu sudut menggunakan spidol hitam boardmarker di dinding keramik, saya menuliskan nama dan sedikit menyatakan sejak kapan, serta sudah kemana saja saya menggeluti performance art. Kemudian semua orang saya ajak untuk membuat lingkaran, bergandengan, kemudian berbaring terlentang di lantai.

diambil dari FB Dwinanda Agung Kristantio
Selama berbaring mereka saya ajak dengan singkat meregangkan tubuh, diawali dengan sedikit menggerakan ujung jari kaki-lutut-pinggang-tangan-bahu-leher-kepala, mengobrol dengan semua bagian tersebut. Sebagaimana yang saya sampaikan di forum, gerak ini saya ambil dari pengalaman dikelas Yudi Ahmad Tajudin ketika Aktor Studio di Teater Garasi.

Saya rasa mengobrol dengan bagian tubuh ini cukup penting untuk mendeteksi dan kenalan dengan tubuh sendiri. Cara yang kayanya lebih mudah dicerna, daripada menjelaskan panjang lebar tentang apa itu tubuh menurut persepsi/pengalaman/temuan saya.

Setelahnya ada pertanyaan dari Ari Adipurwawidjana, dia bertanya bagaimana kalau beraksi di dapur sendirian, apakah itu juga termasuk performance?

Pertanyaan ini lagi-lagi mengingatkan saya pada kelas Aktor Studio, kali ini kelas Matriks Akting oleh Ugoran Prasad. Satu pernyataan yang paling saya ingat adalah: kita semua berakting, bahkan ketika sendirian berkaca dalam kamar-mandi.

Jadi jawabannya bagaimana kita menjuduli aksi kita. Mau didalam lemari maupun di tengah hutan, bila kesadarannya 'menjuduli aksi' tertentu tersebut dari bagian kecil yang kita lakukan --kebetulan kali ini judulnya performance art--, saya kira bisa jadi jawabannya "iya, itu performance art" dan "tidak, saya cuma masak biasa didalam dapur."

foto diambil dari FB Rewind Art
Kemudian berlanjut dengan pertanyaan Okty Budiati, dia bertanya apa pendapat saya tentang "teks dalam tubuh?".. saya tidak langsung menjawabnya, tetapi kelas diajak untuk bubar dari lingkaran, mengumpul ke satu titik menghadap satu tiang besar di tengah ruangan. Ditiang tersebut saya menuliskan sedikit poin-poin dari peristiwa yang terjadi sebelumnya di ruangan tersebut. Trus menulis PA (menyingkat performance art), ruang, waktu, audience.

Saya putuskan untuk tidak menjawab pertanyaan Okty, tetapi melemparkan pertanyaan tentang apa itu PA ke para peserta diskusi. Saya sempat membisikan ke Okty, nanti kita bisa diskusi lebih lanjut soal ini, kini kita coba lihat apa yang ada di sebagian besar benak peserta diskusi.

foto diambil dari FB Rewind Art
Karena mereka kebanyakan diam, maka saya keliling mendekat ke mereka satu-persatu. Bertanya lebih dekat tentang apakah yang secara tiba-tiba melintas di kepala mereka, bila ditanya apa saja yang ada dalam PA.

Akhirnya beberapa secara acak, saling menyatakan kata-kunci yang ada di benak mereka. Saya duduk berpindah di antara peserta, kemudian satu-persatu maju menuliskan apa yang ada di benak mereka di tiang keramik tersebut. Kemudian setelahnya ada yang bertanya tentang apa yang tercantum di tiang. Saya akan meminta Sang-penulis yang mencantumkan menjelaskan, baru kemudian saya elaborasi.

Sampai ada yang membisiki waktu saya tinggal 5 menit, saya ajaklah semuanya untuk kembali berdiri, bertepuk tangan agak lama, memutar-mutar tubuh mereka. Saya jelaskan pada mereka bahwa hal ini saya dapat dari Ben Fox, seorang pemain sirkus asal Australia yang pernah melakukan ini di sebuah forum. Alasannya agar forum tidak kaku, dan membangun atmosfir yang hangat setelah lama mendengarkan sesuatu.

Sementara bertepuk tangan saya dapat saat nyasar ke pertemuan produk MLM, rasanya seperti memberi penghargaan kepada diri, sebagaimana saya ingin seluruh peserta menghargai diri mereka, menghargai kehadiran dalam suatu ruang dan waktu tertentu.

kata kunci yang ditulis bersama
Terakhir sekali, menutup forum bersama saya tersebut, mereka saya ajak bermain imajinasi. Mengangkat satu tangan, berdadah-dadah. Seolah mendadahi teman yang sedang diujung gunung. Lantas menunduk seolah mencari duit yang jatuh dari kantung. Ataupun akhirnya merasa senang karena ada transfer nyasar ke akun pas lagi lihat ATM. Bab imajinasi sendiri saya dapat dari Theodorus Christanto. Bagaimana suatu imajinasi bisa membawa kita kepada temuan-temuan yang tak berbatas dalam berkarya.

II. Rangkaian penampilan langsung

daftar penampil hari 1
Ada banyak sekali penampilan langsung yang hadir selama dua hari tersebut. Hari pertama lebih sedikit dibanding hari ke dua. Kesemuanya memiliki cara tampil yang berbeda, seluruh 'gaya' yang kerap saya temui diberbagai festival ada disini.

daftar penampil hari 2
a//
Seandainya kamu pernah melihat karya performance art yang ditampilkan langsung, silahkan tebak dan sebutkan apa saja yang mungkin akan hadir, kala sekumpulan performer diajak performance art; saya yakin pasti ada yang muncul disini sesuai dengan tebakan kamu.

Pertama performance art menggunakan cairan merah/cat merah. Misalkan penampilan Wira Abdi Mulya, Komet Radenroro, serta penampilan saya bersama teman-teman UNJ. Penampilan pertama oleh Wira Abdi Mulya dari Surabaya, di area dekat pintu masuk gedung F, dibawah segitiga bambu yang dibuat teman-teman UNJ.

wajah Wira sehabis perform
Wira tampil diawali dengan mengganti pakaian sehari-hari dengan setelan jas-dasi-celana hitam, kemudian mengecat wajahnya berwarna merah dan putih. Lantas dia menabur beras di tampah anyaman bambu. Menggosok-gosok mukanya, menjungkir balikan badan, memakan beras yang dia tabur.

penampilan Komet, foto oleh Bocor
Penampilan Komet Radenroro dari Bandung, diatas panggung permanen di pekarangan gedung F-SRUNJ. Komet muncul dengan kostum dan kain putih-putih, membawa kepala manekin. Lantas carian merah menggenang di panggung, mata manekin di bor lantas ditusuk gunting hitam/pisau. Cairan menyerap pada seluruh kostumnya, semua berubah menjadi merah.

penampilan bersama, foto oleh Bocor
Sementara saya berkarya bersama empat orang lain, meninggalkan ruang yang penuh dengan cairan merah. Mereka yang tampil bersama saya adalah Angga 'Acip' Cipta (alumni SRUNJ) karya video dan suara. Sakinah Alatas (mahasiswa SRUNJ - 2012) memakai kerudung hitam dan cadar miliknya. Kemudian Yoenathan Dwi 'Ijong' Pangestu (mahasiswa Tari UNJ - 2013), dan Rachel Roselyn (Jurusan Seni Rupa UNJ - 2015), yang menguasai tari Hip hop. Kami membicarakan rencana keseluruhan penampilan beberapa minggu sebelum festival berlangsung.

Tawaran isunya adalah bagaimana saya memandang perayaan apapun sama, misalkan rave party di Ancol sama saja dengan kumpul demo di Monas. Kami juga mendengarkan lagu Justin Bieber: Sorry, Company, Where are ü now, What do you mean. Lagu-lagu ini juga di mix live sama Acip bersama suara-suara perayaan keagamaan lainnya.

foto diambil dari FB Rewind Art
Penampilan bersama kami tidak memiliki banyak kesepakatan, tawarannya adalah merespon apapun yang terjadi di dalam ruang selama 26 menit, dengan menari dan mengajak orang-orang untuk turut serta. Ruangan sendiri dibagi dua menggunakan kain hitam, pembagian ini berdasarkan gender perempuan dan laki-laki; lantas kemudian pembatas ini hilang ditengah penampilan.

Bantal sebanyak 20 buah ditaruh acak di lantai, ketika di banting dia akan mengeluarkan cairan merah. Bantal idenya seperti alat menuju mimpi, mimpi yang naif berharap keberagaman pemeluk/kepercayaan/keagamaan bisa anteng saling berdampingan tanpa konflik.

b//
Selanjutnya yang juga kerap ditemui dalam performance art adalah penampilan yang memakan waktu cukup panjang. Jenis penampilan yang membebaskan orang-orang untuk tidak terus melihat, ditimpa dengan penampilan lain, atau senantiasa dikerjakan dengan laku yang statis/tidak banyak bervarisai/berulang.

penampilan Impho
Misalkan penampilan Indra 'Impho' Prayhogi dari Surabaya, yang dilakukan sore hari kala langit mulai mendung. Dia duduk di meja, piring-sendok dan wadah berisi sop, serta terdapat 3 kursi kosong. Dia menulis satu persatu huruf kapital diatas kertas putih A4, lantas menempelkannya di tembok belakang kursi-meja tersebut. Disana dia mencantumkan AREA BEBAS DISKUSI SENI. 

Lantas Indra mengajak 3 orang untuk ikut duduk dan makan bersamanya. Hujan mulai turun, Indra tak bergeming, begitupun ketiga-orang yang duduk bersamanya. Perlahan mereka semua mulai melepaskan sepatu, isi kantung (hape/dompet/rokok),  baju, celana, tas untuk diselamatkan dari basahnya hujan. Hujan semakin deras, sop tercampur air hujan.. mereka terus mengobrol dan berbasah-basah memakan sop tercampur air hujan tersebut.

penampilan panjang Kelvin & Azziz
Sementara lainnya ada Kelvin Atmadibrata dan Aziz yang mendorong pintu terbalik bersisian. Mereka terus menerus melakukan aksi tersebut bersamaan dengan penampilan beberapa performer lain. Kelvin dan Aziz saling mendorong pintu berujung melengkung tersebut, disebelah patung yang ada didepan gedung E-FBS (Fakultas Bahasa dan Seni).

Sementara Kelvin dan Azziz masih mendorong pintu, Entri Soemantri (alumni UPI/Universitas Pendidikan Indonesia/IKIP-Bandung) dari Sukabumi memulai penampilannya diatas panggung hijau permanen.

c//
Melilit wajah/bagian tubuh lain, entah dengan tali atau lakban juga sering kita temui. Entah berupa lilitan yang tidak benar-benar mengikat penampilnya, atau yang benar-benar mengikat tubuh. Beberapa penampilan seperti ini diantaranya..
penampilan Ricky
Ricky Unik dari Jakarta, di area bawah pohon seni. Ricky menyangkutkan tanaman merambat ke tubuhnya, beserta sampah yang terbawa. Mengangkat kakinya, bergerak kesana-kemari.

penampilan Indra & Kokoh
Penampilan malam hari dengan banjir merendam halaman gedung F-UNJ, katanya kali ini mending karena banjir tidak sampai merendam area lantai dasar gedung. Ternyata kondisi tersebut tidak menghentikan rangkaian penampilan. Diantaranya penampilan Indra dan Kokoh (mahasiswa UNJ), dimana sebuah kursi diletakan ditengah banjir, seorang duduk memegang payung.

Kemudian seorang lain menghampiri melilitkan lakban kertas ditangan yang memegang payung, menempelkan rokok di mulut orang yang duduk. Tentu saja rokok ini tidak hidup, karena basah. Setelah duduk sekian detik, lantas mereka pun selesai.

d//
Rangkaian penampilan yang mempertaruhkan kekuatan tubuh. Membiarkan kejadian berlangsung dengan resiko bisa menyakiti tubuh, tubuh yang kerap berlatih untuk akrobat, ataupun membuat bagian tubuh lain secara otomatis berubah.

Terdapat artikel khusus yang menuliskan tentang kesakitan dalam laku performance art,  artikelnya di tautan ini. Atau kalau menelusuri blog Rewind Art, kita juga akan melihat beberapa penampilan di tahun-tahun sebelumnya, yang membawa nafas yang serupa.

penampilan Entri
Entri Sumantri dari Sukabumi, berdiri tepat dikolong sebuah perancah merah beroda, melumuri lem diwajahnya, memakai sarung tangan, dan mengulur gulungan benang ke tubuh, menendang-nendang tiang perancah. Gulungan benang dia masukan kedalam mulut, lantas berdiri dengan kaki terbuka dan memegang tiang perancah.

Saya rasa bila melakukan tindak yang sama, rahang saya akan sangat pegal atau sakit, jangan-jangan bisa menyebabkan cedera. Penampilan lainnya adalah penampilan yang mengingatkan saya, saat beberapa kali bekerja untuk acara performance art. Ingatannya adalah untuk secara tegas menyatakan, tidak menyediakan tim medis khusus. Mengingat banyak sekali performance art yang cenderung mencelakai diri, namun tidak mempersiapkan tim khusus.

penampilan Ari, foto oleh Bocor.
Kembali ke Rewind Art 15, ada juga penampilan Ari Adipurwawidjana dari Bandung, dia membawa besi-besi yang khusus dia konstruksi menjadi sebuah kotak, dibungkus kain hitam. Beberapa penonton diajak Ari untuk menjaga keseimbangan kosntruksi besi, menggunakan tali putih empat penjuru. Sepanjang penampilannya Ari membicarakan soal gravitasi, bagaimana nasibnya berada ditangan banyak orang untuk menjaganya agar tidak jatuh.

Terdapat aspek lain dalam penampilan Ari, dia bekerja bersama seorang perempuan yang mengelola 3 laptop. Sebuah laptop untuk sambungan Skype dengan anak Ari yang sedang sekolah di Jepang. Sepanjang penampilannya Ari mengobrol dengan anaknya dan orang-orang yang berada di lokasi, kesemua ini juga disambungkan ke sound-system sehingga kami semua bisa mendengarnya. Laptop lain dihubungkan dengan kamera, sebagiamana diawal penampilannya Ari mengelilingi penonton membawa kertas berisi lamat web dan nomor ponselnya, dia mengumumkan bahwa seluruh penampilannya akan disiar langsung. Laptop terakhir berfungsi sebagai controler.

penampilan Swara foto oleh ?

Selain itu ada penampilan Swara, yang berakhir semaput. Dia tiduran, menutup mata dan memakai earphone. Menurut Bocor dan Rau-rau dia mendengarkan I-Doser, sebuah binaural beats yang bisa mensimulasikan keadaan mental tertentu, semacam narkoba digital. Berarti di banyak penampilan performance art yang mencelakai diri, kebanyakan berupa kesakitan yang tampak/bisa dilihat, disini penampilan Swara tak tampak.

Saya jadi bertanya-tanya, apabila penampilannya ini diadakan di ruang gelap, dengan sound-system memadai, dapat membuat semua orang di ruang tersebut pingsan/kejang-kejang?

e//
Ketelanjangan juga biasanya menjadi pilihan favorit para pelaku performance art. Walaupun semakin kesini, di Indonesia semakin sempit ruang yang membolehkan. Memakai kostum adat saja kini harus serba tertutup, apalagi mengatasnakaman kesenian.

foto diambil dari FB Rewind Art
Boang tampil menggunakan meja yang sama dengan Impho, melepas semua pakaiannya. Duduk, kemudian menendang-nendang kursi. Dia tampak marah sekali.

penampilan Okty, foto oleh Bocor
Okty Budiati dari Jakarta, diawali dengan melilitkan kain putih, layaknya cara pakai para biksu. Duduk dihadapan lilin, sambil menyusun kertas terdengar alunan musik Amir Pasaribu. Saat memakai kain inilah, kain tersebut melorot sampai dada.

Kemudian Okty juga berganti pakaian didepan orang-orang, dekat dari lokasi awal dia duduk, kaos hitam lengan panjang dan selana pendek jeans. Kertas-kertas itu kemudian di bagikan ke orang-orang untuk direspon. Sambil duduk bersila kertas yang sudah direspon orang-orang Okty bakar, penampilannya sekilas tampak seperti berdoa. Catatan atas penampilannya dapat di lihat di tautan ini.

f//
Melukis dihadapan orang-orang sepertinya juga yang paling sering muncul. Biasanya tidak serta-merta dinyatakan sebagai performance art, lebih sering dinyatakan sebagai live painting. Seperti penampilan Nurul (mahasiswa UNJ).

penampilan Nurul
Diawal penampilannya, Nurul beberapa kali memutari patung depan gedung FBS-UNJ. Sambil berkeliling Nurul mengucapkan syahadat 'la ilaha illallah', sambil menyeret kotak kayu. Kemudian dia memakai kain jarik coklat, lantas dilanjutkan dengan melukis diatas kanvas.

Ada yang menarik dari lukisannya ini, ketika saya hampiri dan bertanya apa yang dia lukis, dia menjawab 'sedang melukis yang nunggu pohon.' Memang tepat dihadapannya ada pohon seni yang menyatu dengan panggung. Diapun sempat mengajak orang-orang untuk membaca Al-Fatihah, sambil berdiri menghadap pohon, Nurul tampak khusyuk sekali.

**fin**
Tentunya seluruh penampilan yang saya jabarkan diatas, tidak mencakup seluruh seniman yang turut tampil langsung di Rewind Art ke 15. Dua hari tersebut sangat padat, ditambah lagi setiap malam ada pemutaran video maupun siar langsung dari seniman-seniman diluar Jakarta. Diantaranya ada Mohammed Abd Alwasi & Mazin Mamoory dari Irak, Chirantan Mukhopadhya dari India, Enny Asrinawati dari Kalimatan, Inti Pujol dari Argentina, dll.


Sayangnya saya kurang keliling, mengobrol ke para penampil. Apakah yang ada di benak mereka, hal apakah yang ingin mereka utarakan saat tampil? Kenapa melakukan A dan B, apa yang membuat mereka memutuskan suatu benda menjadi propertinya? Apakah pemilihan lokasi tertentu menjadi tiang utama penampilan mereka? Pentingkah satu isu yang mereka junjung, sampai ke orang-orang yang melihat?

Rewind Art Community Festival yang ke 15 yang berlangsung pada 8-9 Desember 2016 membuka mata saya untuk berbagai hal, mematik berbagai pertanyaan yang sampai saya menulis ini belum ketemu jawabannya. Intinya saya merasakan bahwa menyenangkannya Rewind Art adalah membuka peluang terbuka dan sebebas-bebasnya, untuk para seniman mengeksplorasi/menampilkan performance art.

Dec 12, 2016

Gravitasi & Tubuh

Pas lagi nongkrong asik di Rewind Art Community Festival aku dan Mbak Okty ngobrolin pengalaman Butoh, gegara pernah ikut kelas Yoshito Ohno. Jadinya malah bukan ngobrol spesifik soal Butoh, pembahasannya jadi mengenai titik temu kepusingan aku soal tubuh dan gravitasi.

Awalnya gara-gara bertahun-tahun aku jadi atlit senam ritmik (senam lantai + irama + ballet) di Lampung.. dasar geraknya adalah mengepit bokong, perut senantiasa ditarik masuk kedalam, bahu turun, dagu sedikit mendongak, serta banyak jinjit dan melompat. Setelah itu setiap perlombaan selalu merangkai gerak mengikuti musik klasik barat (jutaan kali mendengarkannya membuat aku kini stres denger musik klasik).

Bahagianya adalah jadi sering bolos sekolah karena latihan. Tetapi latihannya sangat ketat, bisa seharian (subuh-pagi-siang-sore-malam). Ada standar berat badan sehingga senantiasa diet ketat. Tubuh dilatih/dibentuk sedemikian rupa untuk tampak seringan kapas saat bergerak.

O iya.. waktu SD juga sama ibuku dimasukin sanggar tari tradisional Sumatra Barat, waktu itu maksud ibu biar aku ga tomboy, lebih gemulai layaknya perempuan. Pelajaran di sanggar tersebut tidak banyak méndak (menahan tubuh kebawah), lebih banyak pada bermain irama.  Tapi baru setahun sama ibu dihentikan, karena bukannya makin gemulai jadinya malah sering mentas. Dia khawatir aku jadi serius seni-senian, taunya sekarang iya.. hahaha. 

Setelahnya aku kuliah Seni Patung di STISI (sekarang Telkom University). Kirain wacana soal tubuh ini akan berakhir di kelas tersebut. Ternyata kelasnya diawali dengan bikin figur orang 1:1, bikin penasaran soal anatomi tubuh manusia dan jadi berteman sama anak-anak kedokteran. Di semester awal dosenku waktu itu mengajari cara megerjakan patungnya adalah bercermin sambil meraba, kemudian hasil rabaan itu ditransformasikan ke tanah liat. Dari situ aku sadar, bahwa melihat bisa banyak menipu, mata memiliki kemungkinan berilusi saat menangkap visual. Ternyata rabaan membuat aku ‘melihat’ tubuh menjadi berbeda, aku jadi belajar tentang batas-batas kemampuan tubuh.  Semakin dalam lagi karena selanjutnya adalah bikin patung yang sedang begerak, jadi belajar sistem kerja otot dan syaraf. Terus berlanjut lagi bikin patung distorsi tubuh (physical/permukaan maupun gerak).

Trus bertahun-tahun kemudian ikut performer studio Teater Garasi. Dari berbagai materi salah satunya aku kenalan sama PGB (Persatuan Gerak Tubuh/Bangau Putih), saat itu kesulitan aku pada gerak yang banyak mendekat ke tanah/lantai (misal latihan awal dimulai dari 'geseran': melangkah kecil/lebar & dimana seluruh permukaan telapak kaki menempel di tanah). Belajar membawa beban tubuh kebawah dengan lutut semplak (pernah cedera waktu jadi atlit senam). Efek paling signifikan selain cedera lutut perlahan menghilang,  aku jadi jarang jatuh, pernah jongkok di WC duduk pakai sepatu licin trus kpleset, bukannya nyium tanah tapi mendarat cantik berpose kuda-kuda.. hahahaha.

Kesimpulan singkatnya PGB bergerak dimana tubuh menyerap gravitasi, sementara Senam Ritmik melawan gravitasi. 

Kembali ke Butoh.. Kelas kala itu lebih menerangkan ideologi Butoh, Yoshito banyak memancing imajinasi kami dibanding mengatur bagaimana kami harus bergerak. Dia banyak berbagi mengenai apa saja pengalaman tubuhnya, apa yang dia rasakan hidup di Jepang dengan berbagai kejadian. Peserta di kelas tersebut juga dari beragam usia dan latar belakang, hal ini menjadi menarik karena semua orang gerakannya berbeda.

Dari berbagai bagian yang diajarkan di kelas tersebut, diantaranya adalah bergerak sambil membayangkan biji yang tumbuh menjadi bunga, terus tumbuh menyongsong matahari, mekar wangi merekah, kemudian layu lantas mati, masuk dalam tanah. Atau bagian lain adalah bergerak sambil membayangkan menjadi angin, menjauh dari bumi, merangkul bumi, bumi diangkat sama kedua tangan, dari terasa sangat ringan sampai menjadi sangat berat, dst..  

Saat itu berjam-jam di kelas tidak terasa, malah jadinya kaya abis over-dosis meditasi. Bahkan di kereta kesadaranku belum penuh, tubuh rasanya melayang. Efek setelah kelas, selain semakin meyakini soal ephemerality (ke-tidak-abadi-an).. aku bahagia karena kelas yang banyaknya mengolah imajinasi, membuat tubuhku bertemu titik tengah gravitasi (dari serap dan lawan gravitasi).

Nulis ini gegara baca tulisan Okty Budiati.

Nov 27, 2016

BUMI MANUSIA

(artikel ini dibuat sebagai laporan ke Galeri Nasional pada 24 Feb 2016)

Pada akhir Januari saya berpartisipasi dalam Kolkata Internasional Performance Art Festival 2016 (KIPAF16). Sampai disana subuh dan masih gelap, seluruh pemandangan kota tampak samar, hanya terasa udara yang sangat dingin –disana sedang musim dingin. Saya tinggal di rumah Tapati Chowdhury, perilaku keluarganya sama seperti di Indonesia, orang tua yang perhatian dan dekat. Dengan segera terasa nyaman dan enak tentunya, saya merasakan kehangatan rumah pada umumnya, hanya jenis makanannya saja yang berbeda.

Sorenya Tapati Chowdhury mengajak saya bergabung dengan rombongan KIPAF16 yang sedang melakukan promosi di tengah New Market. Rombongan KIPAF16 memulai promosi bergaya open session, seseorang menggambar pakai kapur di lantai, di area terbuka tengah pasar. Orang-orang yang sedang berada di pasar tersebut dengan segera mengerumuni gambar tersebut. Kapur yang dibawa warna-warni, kami semua diberi sebongkah untuk turut merespon, anak-anak gelandangan juga bersukarela menyelesaikan gambar tersebut.

Seorang diantara rombongan KIPAF16 tampak jalan keliling membawa lembaran foto-kopian keterangan event, ember kecil untuk donasi. Kemudian sebuah lapak digelar, terdapat kaos KIPAF16, kartu pos dokumentasi performance art, serta pernak-pernik keterampilan lainnya.

1//
Besoknya kami bertemu untuk orientasi seluruh titik tampil, dimana KIPAF16 menjelajahi wilayah Utara kota Kolkata. Pertama semua bertemu diluar stasion Girish Park Metro, jalan menuju taman Hedua. Di taman tersebut terdapat kolam tua yang lebih tampak seperti danau buatan, namun kolam ini dikelilingi pagar yang cukup tinggi.


Foto diambil dari halaman facebook Sakinah Alatas

Dalam paparan yang mereka sampaikan dijelaskan bagaimana mereka melihat kota, contohnya lokasi tempat pertemuan kami tersebut (taman Hedua), banyak taman kota atau tempat berkumpul tengah kota; namun selalu ada pagar pembatas yang membuat orang orang berjarak, hanya bisa melihat.

KIPAF mulai berlangsung sejak 2012, di inisiasi oleh organisasi Performance Independent (Pi). Tujuan Pi melalui KIPAF adalah untuk membuka kota Kolkata sebagai tempat performance art, beserta intervensinya. Sehingga pemilihan lokasi sebagian besar di wilayah terbuka. Setiap tahun ada titik-titik jelajah baru dalam kota Kolkata, berdasarkan prilaku orang-orang serta kebendaan di sekitar titik tersebut.

Sebagaimana penjelasan dalam pertemuan di Taman Hedua, tema KIPAF16 adalah Why Kill A Mocking Art, dengan masih memegang semangat menduduk-kuasa ruang terbuka. Sebagaimana dalam blog KIPAF16, tema ini memiliki kumpulan pertanyaan: “Apa yang membuat kita mengejar prioritas, mengapa hal tersebut diperlukan? Di mana kita menemukan keintiman dalam performance art? Bagaimana kita menginterogasi aspirasi yang sangat intim, yang mendorong kita terhadap aksi?”

Lantas pertanyaan tersebut dilanjutkan dengan beberapa turunannya: “Bagaimana kita memposisikan antara performance art dan seni pertunjukan? Apakah sebuah jalan adalah ruang? Hubungan antara ketinampilan, aksi dan kepenulisan?”



Foto diambil dari halaman facebook Sakinah Alatas
Chirantan Mukhupadhaya menanyakan respon saya atas kumpulan pertanyaan tersebut. Lantas saya menjawab bahwasanya hal yang sangat mirip juga berjalan dalam pikir saya. Saya terus belajar dan bertanya mengenai bagaimana membakar gagasan, memprioritaskan ragam pilihan jalur kekaryaan. Mempertanyakan bagaimana menata suatu gagasan menjadi sebuah konsep, mempertanyakan suatu bentuk karya yang mewakili orang banyak sehingga tidak sulit ditangkap para penikmat; serta pengembangannya melalui percakapan pro/kontra setelah menghadirkan sebuah karya.

Berusaha menyusun konsep yang tepat tanpa berlebihan atau berkekurangan, mencari jalan yang dekat atau setidaknya tidak sulit untuk ditangkap para penikmat karya. Seandainya ada satu disiplin kesenian yang tidak saya kuasai, maka saya akan mengajak beberapa rekan lain untuk saling mengisi.

Pertanyaan dan jawaban atas penjelasan tema tersebut, kembali hadir dalam kepala saya saat pertemuan di Taman Hedua. Kemudian tim KIPAF16 mengumumkan jadwal selama empat hari kedepan, lokasi-lokasi yang akan disinggahi. Di akhir pertemuan kami diberitahukan untuk memilih lokasi yang ingin kami pergunakan untuk tampil. 

Setelahnya kami semua berjalan ke taman lain bernama Company Bagan. Disana terdapat sebuah lapangan besar, tampak banyak kelompok bermain cricket. Selain itu terdapat berbagai taman kecil-kecil berpagar, dengan patung dan relief.





Melalui jalan kecil kami menuju ke wilayah Pathuriaghata, area pemukiman tertua di Utara kota Kolkata. Kami memasuki bangunan pribadi agak tertutup, seperti sebuah komplek kos kosan 3 lantai yang cukup luas. Beberapa ruang tampak dipakai untuk kantor, ruang pertemuan dan sebuah area sembahyang. Ditengahnya terdapat ruang terbuka yang cukup lebar. Seluruh partisipan dapat memilih seluruh lantai dasar sebagai arena performance art.

Setelahnya kami jalan menuju stasion Baghbazar yang bersebelahan dengan Sungai Gangga. Tidak langsung menaiki kereta, kami berjalan mengitari kawasan stasion tersebut. Lajur kereta tersebut merupakan jalur tertua yang mengelilingi kota Kolkata, yang sangat penting untuk mengangkut barang dagangan dari berbagai sudut kota. Begitu keluar stasion tampak sangat ramai dengan truk besar yang mengangkut berbagai dagangan, keluar masuk stasion tidak ada pintu khusus, banyak pedagang dan orang tidur di lantai.

Menaiki kereta Chakra Rail kami menuju Stasion Majerhat. Perjalanan menuju Majerhat memakan waktu satu jam lebih, sehingga didalam kereta banyak berlangsung diskusi dan sebagian besar mulai berimprovisasi, bermain musik sampai melakukan aksi merespon ruang dalam kereta.

Setibanya di stasion Majerhat, beberapa orang melakukan performance art di lajur kereta yang kosong. Ada yang tidur di rel, ada yang berkerumun saling bersandar dan mengelilingi kerumunan dengan benang. Ada yang menulis di tembok. Sementara beberapa orang masih bermain musik.



Foto diambil dari halaman facebook KIPAF16
Tak lama beberapa orang petugas keamanan hadir. Mereka bertanya karena khawatir tindakan beberapa seniman di kawasan tersebut dapat membahayakan nyawa. Tampak beberapa tim KIPAF16 berkomunkasi dengan petugas keamanan, sementara prosesi performance art tetap berlangsung, begitupun yang bernyanyi. Setelah agak lama, panitia memberitahukan bahwa petugas keamanan meminta beberapa foto dari tiga kamera untuk kemudian menghapusnya, tetapi lucunya sebelum dipertunjukan kepada petugas file foto-foto tersebut sudah di pindah ke laptop.

Bagi saya cara Pi bernegosiasi dengan petugas cukup menarik. Menurut Tapati Chowdhury mereka sudah pernah mencoba mengajukan perijinan, namun yang terjadi adalah mereka di lempar ke berbagai lembaga pemerintahan. Menurutnya pihak pemerintah kebingungan harus mengkategorikan performance art kemana.

Lagi pula para petugas biasanya menghampiri apabila ada laporan dari masyarakat, begitupun sebaliknya, masyarakat dapat membela apabila mereka tidak terganggu. Umumnya masyarakat dengan antusias menonton (bahkan terlibat) dalam performance art, beberapa lainnya cukup terhibur/terwakili dengan penampilan para performer.

Dilain kesempatan Rahul Bhattacharya menjelaskan bagaimana mereka melakukan pendekatan terhadap satu titik yang ditunjuk untuk arena para penampil performance art. Mereka akan melakukan kunjungan ke titik tersebut secara berkala, mengamati ragam aktivitas yang berlangsung, kemudian melakukan beberapa performance art sederhana. Kesemua tahapan tersebut dilaksanakan, agar orang-orang yang biasa berada di lokasi tidak begitu terkejut ketika festival berlangsung.

Setelahnya kami kembali ke stasion Baghbazar, lalu duduk-duduk di pelabuhan kecil pinggir Sungai Gangga. Mengamati aktivitas pinggir sungai, banyak orang duduk-duduk disana.

2//
Tibalah saat rangkaian performance art di mulai, berlangsung padat selama tiga hari dengan total 46 seniman berpartisipasi. Belum termasuk beberapa seniman lain yang melibatkan diri secara langsung dalam open session. Beberapa seniman melakukan performance lebih dari sekali, ada juga yang kerap merespon beberapa seniman lainnya.

Nyaris seluruh performance art memiliki makna yang dalam. Tidak semua seniman berada di lokasi yang jelas, ada yang muncul secara tiba-tiba di kerumunan, serta tampil saat berpindah dari lokasi yang satu ke lainnya. Ada juga yang melakukan durasi panjang.

Sepanjang tiga hari tersebut saya harus selalu waspada menangkap apa saja yang terjadi di sekitar. Apakah kejadian yang memang umum terjadi di lokasi tersebut, atau memang dilakukan dengan maksud berkarya seni.

Tangkapan pertama saya adalah penampilan Anupam Saikia di Pathuriaghata. Penampilan Anupam terinspirasi isu dibalik bunuh diri Rohith Chakravarti Vemula, yang terjadi seminggu sebelumnya.


Rohith seorang mahasiswa PhD dari kampus yang sama, kini kematiannya memicu serangkaian protes di seluruh India. Catatan bunuh diri Rohith terbit di koran, bunuh diri dia lakukan sebagai pernyataan politis atas diskriminasi kasta yang dialaminya. Dia kaum Dalit, kasta terendah kelima, yang kini tidak ditulis dalam runutan kasta dalam sistem Varna (Hinduism).

Anupam memprotes keadaan tersebut. Benang putih dikalungkan melintasi tubuhnya seperti para Brahman (kasta tertinggi), memakai peci dan sarung. Kemudian sambil berkaca dia mencoreng wajahnya, memberi bindi di keningnya kemudian menulis “I Have Becoming A Monster” ditubuhnya.

Dalam KIPAF16 tidak hanya penampilan Anupam yang terinspirasi dari peristiwa bunuh diri Rohith, ada banyak sekali penampilan yang mengangkat tentang ini. Apakah terus menerus menampilkan wajah Rohith adalah satu-satunya cara untuk meneruskan perjuangannya, ataukah melakukan gerakan mengisi ruang kesana-kemari dengan cepat dan berteriak adalah cara seragam lainnya, atau membakar-bakar kertas koran banyak-banyak juga melilit tubuh dengan benang/lakban/tali/perban, menggelontorkan banyak-banyak cat merah/hitam adalah satu-satunya cara menyampaikan pesan?


Foto diambil dari halaman KIPAF16 di facebook
Penampilan Inder Salim di lokasi yang sama hari berikutnya juga mengambil isu yang sama, namun ditampilkan tidak seragam. Dia cenderung mengajak ngobrol penonton. Membuka kertas dengan nama Rohith, meletakan plakat Hindustan Ratan. Kemudian menegulingkan pohon mini, menjelaskan bahwa pohon tersebut biasanya disakralkan. Kemudian membaca catatan bunuh diri Rohith sambil terus mempertanyakan diskriminasi sedemikian banyaknya di India.

Inder Salim menyatakan bahwa Republik India telah memberikan penghargaan Bharat Ratna kepada para petinggi di masyarakat yang dibatasi sampai 45 individu. KIPAF16 menjadi wadah baginya sebagai seri kinerja Hindustan Ratan untuk memberikannya kepada 45 warga radikal India, yang bekerja dan hidup dengan membuat perbedaan untuk gerakan perjuangan minoritas di seluruh negeri. 

Pertama Bengal Ratan diberikan kepada Rohit Veluma pada 24 Januari 2016, catatan bunuh diri Rohith menjadi tanda perlawanan. Sebagaimana yang diterbitkan di indianexpress.com, catatan bunuh diri Rohith:
Good morning, 
I would not be around when you read this letter. 
Don’t get angry on me. I know some of you truly cared for me, loved me and treated me very well. 
I have no complaints on anyone. 
It was always with myself I had problems. 
I feel a growing gap between my soul and my body. 
And I have become a monster. 
I always wanted to be a writer. A writer of science, like Carl Sagan. 
At last, this is the only letter I am getting to write. I always wanted to be a writer. 
A writer of science, like Carl Sagan. 
I loved Science, Stars, Nature, but then I loved people without knowing that people have long since divorced from nature. 
Our feelings are second handed. Our love is constructed. Our beliefs colored. 
Our originality valid through artificial art. 
It has become truly difficult to love without getting hurt. 
The value of a man was reduced to his immediate identity and nearest possibility. To a vote. 
To a number. To a thing. Never was a man treated as a mind. 
As a glorious thing made up of star dust. In every field, in studies, in streets, in politics, and in dying and living. I am writing this kind of letter for the first time. 
My first time of a final letter. Forgive me if I fail to make sense. 
My birth is my fatal accident. I can never recover from my childhood loneliness. 
The unappreciated child from my past. 
May be I was wrong, all the while, in understanding world. 
In understanding love, pain, life, death. 
There was no urgency. But I always was rushing. 
Desperate to start a life.
 All the while, some people, for them, life itself is curse. 
My birth is my fatal accident. 
I can never recover from my childhood loneliness. 
The unappreciated child from my past. I am not hurt at this moment. 
I am not sad. I am just empty. Unconcerned about myself. 
That’s pathetic. And that’s why I am doing this. 
People may dub me as a coward. And selfish, or stupid once I am gone. 
I am not bothered about what I am called. 
I don’t believe in after-death stories, ghosts, or spirits. 
If there is anything at all I believe, I believe that I can travel to the stars. 
And know about the other worlds. 
If you, who is reading this letter can do anything for me, I have to get 7 months of my fellowship, one lakh and seventy five thousand rupees. 
Please see to it that my family is paid that. 
I have to give some 40 thousand to Ramji. 
He never asked them back. But please pay that to him from that. 
Let my funeral be silent and smooth. 
Behave like I just appeared and gone. Do not shed tears for me. 
Know that I am happy dead than being alive. 
“From shadows to the stars.” Uma anna, sorry for using your room for this thing. 
To ASA family, sorry for disappointing all of you. 
You loved me very much. I wish all the very best for the future. 
For one last time, Jai Bheem I forgot to write the formalities. 
No one is responsible for my this act of killing myself. 
No one has instigated me, whether by their acts or by their words to this act. 
This is my decision and I am the only one responsible for this. 
Do not trouble my friends and enemies on this after I am gone.


3//
Rangkaian performance art lainnya ada yang menuai senyum para penonton. Misalkan presentasi “SAC Travel” oleh Vidisha Saini dan Alex Yudzon. Mereka tampil singkat setiap harinya, sesaat sebelum makan siang. Mereka tampak benar-benar seperti mempresentasikan sebuah usaha paket tamasya. Namun apabila benar-benar didengarkan, penjelasannya banyak mensatirkan kondisi yang dilakukan para turis ke kota-kota eksotis.

Kalimatnya mereka buka dengan: Travel SAC adalah sebuah perusahaan berpikiran progresif, bertanggung jawab lokal-global dan bergerak mengkhususkan diri dalam lini produk inovatif yang meringankan kesulitan bepergian ke luar negeri. 

Kemudian mereka akan membagikan jepit jemuran plastik untuk dijepit di hidung para penonton. Sambil terus menceritakan betapa menyenangkannya membeli produk (jepit jemuran) tersebut. Bagaimana kita memfoto kampung miskin dan melihatnya sebagai komoditi wisata.
Saya langsung ingat dengan menjamurnya desa-desa wisata di Indonesia, mengubah bentuk rumah agar bertaraf internasional, menyoroti hal-hal di desa mereka yang kira-kira bisa menjadi eksotis, guna memanjakan para turis.

Sebagaimana dalam catatan Srinia Chowdury, dia menangkap sebuah sindiran atas kekejaman suatu merek, bagaimana sebuah produk biasa diiklankan sedemikian rupa sampai menjadi luar biasa.

Karya lain yang penampilannya juga memberikan senyuman adalah Mohamad Haryo Hutomo dan Sakinah Alatas. Mereka membagikan balon hati merah sambil jalan ke Company Bagan.

Sesampainya di taman, Haryo mengajak para penonton berpelukan. Sementara saat orang-orang saling memeluk, Sakinah membungkus tubuh mereka dengan kain kuning. Lingkar peluk menjadi cukup besar, orang-orang terus diajak berpelukan sampai kain kuning yang mereka lilitkan habis. Setelahnya mereka sedikit bergerak ke suatu arah, sehingga semua terpaksa ikut bergerak.





Saat itu kami mendiskusikan betapa penampilan tersebut seperti monumen bergerak. Orang-orang yang terlibat berpelukan juga beragam, mulai dari sesama seniman sampai orang-orang asing dan anak-anak di taman itu juga ikut.

4//
Dua penampilan yang berada di antara adalah Ali Asgar. Di sepanjang perjalanan dari Pathuriaghata ke Company Bagan, Ali mengambil foto selfie menggunakan telpon genggamnya.




Ali menghampiri orang-orang untuk foto bersamanya, dengan memakai kerudung, lipstik, membawa cermin serta mengalungkan citra dewa Hindu. Beberapa orang tampak nyaman serta bersukarela saat foto bersamanya.

Kini nyaris di semua akun sosmed kita bisa melihat jutaan orang melakukan hal yang sama, foto menggunakan kamera depan telpon genggam (selfie maupun wefie). Entah keterangan fotonya berbau filosofis maupun iklan suatu kawasan, bahkan para biksu melakukan hal yang sama dalam perayaan Waisak di Candi Prambanan.

Ali berasal dari Bangladesh, saat dia memakai lipstik dan berkerudung, membuat saya membayangkan hidup sebagai gay (apalagi waria) di negaranya pasti sangat berat.

Penampilan lainnya oleh Monica Nanjunda, duduk bersila dalam diam sepanjang hari di sudut koridor bangunan Pathuriaghata. Monica duduk beralaskan terpal biru, serta sekantong beras didekatnya. Geraknya pelan dan konstan mengambil butir beras sedikit demi sedikit, terkadang membentuk huruf, ataupun hanya menumpuk sebagian disatu sisi. Kemudian beras yang dia sebarkan tersebut dimasukan kembali kedalam kantong.





Disampingnya terdapat teks bertuliskan “Kau mengingat terlalu banyak. Ibu saya berkata kepada saya baru-baru ini, mengapa berpegang pada semua itu? Saya-pun berkata, dimana bisa meletakannya? Kemudian ibu saya akan mengalihkan pembicaraan jadi tentang bandara.”


Ketika rombongan berpindah ke stasion Majerhat, Monica masih melakukan hal yang sama. Kali ini dibawah tiang listrik. Hanya diam dan bermain butir-butir beras. Apabila ada yang berinteraksi dengannya, dia akan menanggapi masih dalam diam. Saat Chirantan Mukhopadhaya mengulurkan tangan, Monica memberi bebrapa butir beras.


5//
Saya memilih tampil di Taman Hedua. Membawa telur ayam putih yang sudah saya isi dengan Alta. Meletakannya di atas sobekan koran di bangku tegel, dibawah lampu taman. Kemudian telur-telur tersebut saya pecahkan menggunakan kening, sambil berpose layaknya sedang bersujud, saat telur mentah tersebut pecah, warna kuning melebur dengan merahnya Alta.

Alta adalah pewarna merah dari serangga yang hidup di pohon (Lac insect), biasa dipakai saat ritual Hindu dalam pernikahan dan kematian. Saat menikah mempelai perempuan akan memakai ini di kakinya, dengan gambar motif sebelum masuk rumah. Perbedaannya dalam upacara kematian, pewarna diterakan di telapak kaki tanpa gambar, sebagai simbol penghargaan atas rasa duka.





Saya membawa koran Jakarta Post yang saya ambil sebelum terbang ke India. Saat itu masih segar berita tentang pemboman dugaan teroris di Jakarta. Lima berita dari koran hari itu berkisah tentang berbagai konflik yang sedang berlangsung di dunia.

Saat foto-foto penampilan ini di unggah di halaman Facebook KIPAF16, mereka menjudulinya “Civilisation & Fragility”, dengan segera saya menyukainya.


Sudah bertahun-tahun saya mempertanyakan tentang konflik/perang di dunia yang memakan banyak korban nyawa, terutama pertentangan antar agama. Keyakinan seseorang yang seharusnya sangat subtil dalam inti jiwa kerap dipaksakan untuk membuncah keluar, memaksa orang lain untuk berkeyakinan sama.

Lepas dari berbagai penampilan tersebut, hal yang membuat saya bahagia adalah saat beberapa penonton mengajak berdiskusi, langsung setelah saya tampil.


Seorang bapak sambil menggendong bayinya, juga sangat khawatir dengan perkembangan kumpulan fanatik Hindu di India. Layaknya perkembangan kelompok fanatik Islam di Indonesia. Kami sama-sama khawatir membayangkan apakah dikemudian hari para manusia akan lebih fanatik dan diskriminatif atas nama agama tertentu.

Hal yang sama juga ditampilkan oleh Chobi Zulfiqure dan Shubho O Saha, mereka duduk sambil menggigit sebatang kayu penyangga kertas bertuliskan religion yang di coret.


Foto diambil dari artikel I SAW oleh Srinia Chowdury di blog iKIPAF


Penutup
Penampilan yang sangat sederhana namun membekas. Bila kita menelusuri berita di internet, kita akan menemukan bahwa hari ini, banyak sekali kejadian mematikan di dunia akibat perang yang mengatas-namakan agama. Walau kita semua ragu, apakah benar manusia sudah tidak punya hati dan menghalalkan darah manusia lainnya.

Seluruh kisah yang saya paparkan diatas hanya seperdelapan dari berbagai aktivitas yang sangat padat terjadi, selama satu minggu Kolkata Internasional Performance Festival 2016.

Lega rasanya bertemu orang-orang dari berbagai negara dan berbagi kegelisahan yang sama. Tampaknya novel Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer yang berkisah tentang kondisi tekanan hidup di jaman penjajahan Belanda masih belum berubah. Penjajahan masih terus berlangsung, hanya kali ini seperti hantu yang rajin berganti pakaian, dipercaya ada namun tidak bisa diidentifikasi.