Popular Posts

Nov 21, 2014

Heart Melody

(please scroll down for English)

Projek seni ini digagas oleh saya dan Ori Riantori, dilaksanakan pada pertengahan 2005 di BTW space & iF Venue - Bandung (Maret-April). Kemudian yang kedua di Outmags Artuary/Open Circuit Community - Yogyakarta (Juni-Juli). 

Latar belakang projek dimulai dari obrolan pengalaman ketika kami oprasi usus buntu sampai ngalor-ngidul tentang berbagai hal. Pada proses sebelum kita di bius total, segala alat pendeteksi ditempelkan ke tubuh kita. Salah satu suara sebelum terbius yang paling keras terdengar adalah bunyi deteksi jantung. Disitu kami menyadari bahwa jantung sedemikian berubahnya saat perasaan kita ulang-alik atas ketegangan sebelum di operasi. Ketika itu disekitar kami juga sedang beredar film kartun Happy Tree Friends, menurut kami film tersebut tidak lucu, namun beberapa orang kami lihat begitu gembira dan terbahak-bahak menontonnya. 

Awalnya cita-cita kami adalah bermain alat detak jantung, dari memproduksi karya berbasis suara, sampai berbagai bentuk karya yang bisa lahir dari bermain alat deteksi ini. Namun membeli alat deteksi jantung, tentu saja tidak kejadian, karena mahal. Mau meminjam atau melakukannya di rumah sakit/fasilitas kesehatan juga tidak mungkin, bagaimana apabila diwaktu yang bersamaan ada orang sakit yang membutuhkannya? Berbagai hal berbau prosedur tidak membiarkan kami menggunakannya dalam keadaan tidak sakit, apalagi demi alasan untuk kesenian.


Akhirnya kami berpikir untuk membuat projek seni, mengajak beberapa orang yang kami kenal, untuk membicarakan hal apa sajakah disekitar kita yang mampu menggugah rasa, secara fisik mengubah detak jantung saat loncatan adrenalin naik/turun. Dikarenakan kami berlatar belakang seni rupa, maka kami membayangkan projek seni ini dimulai dari percakapan kemudian diakhiri dengan produk seni rupa sederhana kemudian diakhiri kembali dengan percakapan.

Sebelum mengajak lebih banyak orang lagi, kami menentukan kira-kira topik apakah yang akrab disekitar kami saat itu, yang mudah menggugah perasaan seseorang. Kami menentukan beberapa topik: sex, aborsi, pernikahan, kartun, cinta dan bencana alam. Topik-topik tersebut menjadi kerangka sesi. Masing-masing pertemuan dimulai dengan mengisi quesioner, menonton film yang sebagian besar dokumenter, kemudian disediakan kertas serta alat gambar sederhana untuk direspon saat film mematik imajinasi. Harapannya imajinasi yang dipatik kemudian diejawantahkan dalam bentuk gambar/lainnya, adalah gambaran perasaan personal atas topik tersebut. Kami memilih film/gambar bergerak sebagai pematik emosi personal, juga karena bentuk ini yang konon paling mudah di proses kilat dalam kerja otak sesorang, yang tidak mempunyai masalah dengan penglihatan dan pendengaran. 


Ketika projek ini di bawa ke Yogyakarta, Sujud Dartanto (pendiri dan pengelola OCC) melihat adanya tema besar lain, tentang: sensitivitas generasi muda terhadap kekerasan. Ketika itu Ori tidak ikut, hanya saya yang meneruskan projek ini. Berkat Sujud, projek ini membawa saya kedalam pembahasan yang lebih mendalam. Pengamatan atas perasaan semakin kaya, tidak berhenti pada psikologi saja, tapi meluas pada latar budaya anak muda, membongkar lebih jauh pembelajaran visual serta fungsi dan kerjanya terhadap manusia. Kemudian saya melakukan hearing di PUSdEP (Pusat Sejarah dan Etika Politik) - Universitas Sanata Dharma, kemudian mereka menjadi sponsor projek kedua ini. Selama beberapa minggu saya didampingi Sujud dan Lian Gogali dibawah saran PUSdEP untuk pendalaman isu. Bentuk diskusinya di Yogyakarta juga sedikit berkembang menggunakan tema: Anak Muda dan Kekerasan Terselubung di Media Cetak dan Audio Visual, serta mengundang dua orang pembicara lain: Kurniawan Adi (Rumah Sinema) dan Nuraini Juliastuti (Kunci Cultural Studies Center). 

Pengantar oleh Sujud Dartanto:
Heart Melody #2 adalah seri kedua dari kegiatan workshop, diskusi dan 
pameran mengenal kekerasan terselubung (simbolik) sehari-sehari. 
Kegiatan ini digagas oleh Ferial, aktivis dan seniman muda dari 
Bandung. Heart Melody #1 berlangsung di Bandung berkolaborasi dengan 
IF dan BTW (nama ruang alternatif di Bandung). Dan pada yang kedua 
ini mengambil tempat di kota Yogyakarta, bertempat di Artuary (ruang 
pamer dan kegiatan) OCC (Open Circuit Community, lembaga Kajian 
Budaya Visual dan Anak Muda). 


Heart Melody berawal dari pengamatan Ferial pada meningkatnya 
kekerasaan simbolik sehari-sehari yang antara lain tampil melalui 
media cetak dan audio visual dikehidupan sehari-hari. Dari 
kegelisahan ini, Ferial kemudian merancang metode workshop 
alternatif yang tujuannya adalah menggugah kesadaran akan hal itu 
khususnya dikalangan generasi muda. 


Frase Heart Melody dipilih oleh Ferial, Heart berarti hati dan melody 
berarti melodi. Frase sekaligus menjelaskan tujuan kegiatan ini yaitu 
untuk melihat sejauh mana sensitifitas generasi muda pada kekerasaan 
simbolik ini, kemudian bersama-sama menstimulus untuk mencari solusi-
solusi yang bisa menjadi rekomendasi publik. Melalui kegiatan ini, 
diharapkan generasi muda dimasa depan bisa lebih peka terhadap 
kekerasaan simbolik, juga menyadari posisi strategis anak muda 
ditengah budaya hedonisme yang kian mengikis kesadaran kritis ini.


                                              


This art project was initiated by me and Ori Riantori, it happened in mid-2005 at BTW space and iF Venue - Bandung (March-April). Then the second to Yogyakarta at Outmags Artuary / Open Circuit Community (June-July).

The project started after we share our appendectomy experience which grow to the sharing about various things. In the surgery process before anesthesia, all the detectors attached to our bodies. One of the loudest sound before anesthetized is from the heart detection. There, we realized our heart change very quick when we feel the different tension before surgery. At that time the Happy Tree Friends cartoon also very popular among our friends circle, we think that cartoon is not funny, but some people we see are so excited and laughing watching it.

At the beginning our idea was to play the heart detector device, from producing sound-based artworks, through various forms of artworks that can be come out from playing this detection devices. But buying a cardiac detection devices was not happening, because it is expensive. Want to borrow or do it in the hospital / health facility is not possible, what if the same time there's sick peoples who need it? Various things upon procedural reason does not allow us to use it when we are not sick, especially for the arts sake.

                                  

Finally we thought of making art projects, invite a few people we knew, to talk about what are all around us were able to arouse a sense, physically alter a heart rate along with our adrenaline when stepping up / down. Due to our visual art background, then we imagine this art project started from a conversation then concludes with a simple artworks then ends back to the conversation.

Before we invite more people, we determine roughly what is familiar topic around us at the time, which is easy to arouse someone feelings. We define some topics: sex, abortion, marriage, cartoon, love and disasters. These topics becoming the session framework. Each meeting begins with filling the questioner, watch movies, mostly documentaries, and then supplied the paper and simple drawing tools to respond when the movie evoke the imagination. We hope the form of artworks embodied from the evoking of the imagination, as the artworks define the personal feeling of each topic. We chose the film / moving images to evoking the personal emotions, we believe this form supposedly the easiest process to lightning of someone brain who does not have problems with sight and hearing. 

When this project was brought to Yogyakarta, Sujud Dartanto (founder and manager OCC) saw another major theme, about: the sensitivity of the young generation towards violence. Ori did not participate at that time, only me who continue this project. Thanks to Sujud, this project brought me into a deeper discussion. The observations about the feeling are getting rich, not stop only on psychology theory, but extends to the cultural background of young generation, research the further visual studies as well as the function and how the artworks works on humans. Then I do a hearing in PUSdEP (Center for History and Political Ethics) - Sanata Dharma University, then they become a sponsor of this second project. For a few weeks I was accompanied by Sujud and Lian Gogali under PUSdEP suggestions for deepening the issues. The discussion in Yogyakarta also developed with the theme: Youth and Violence in the Media and Audio Visual, invited two other speakers: Kurniawan Adi (Rumah Sinema) and Nuraini Juliastuti (Kunci Cultural Studies Center).

                                  

Introduction by Sujud Dartanto:
Heart Melody # 2 is the second series of workshops, discussions and
exhibition about everyday covert violence (symbolic).
This activity was initiated by Ferial, activists and young artists from
Bandung. Heart Melody # 1 took place in Bandung in collaboration with
IF and BTW (the name of an alternative space in Bandung). And in the second
This takes place in the city of Yogyakarta, at Artuary (exhibition space
and activities) OCC (Open Circuit Community, institute for
Visual Culture and Youth Study).

Heart Melody originated from Ferial observations on how the everyday 
symbolic violence increase among others through
print media and audio-visual on our daily life. From
this thought, Ferial then create the alternative workshop methods
with the goal of raising the awareness about it,
especially among the younger generation.

Heart Melody phrase chosen by Ferial, Heart means the feeling and melody
means the melody. The phrase also explains the purpose of this activity
to see the further sensitivity of the younger generation on symbolic 
violence, then together stimulates to seek the solution which could be 
a public recommendations. Through these activities,
it expected for the young generation to be more sensitive towards
symbolic violence, is also to open the strategic position 
of young people in the middle of hedonism culture 
which increasing critical awareness.



Dokumentasi lain/other documentation:
https://www.facebook.com/yudi.suhairi/media_set?set=a.75003857961.74220.786547961&type=3
https://www.facebook.com/yudi.suhairi/videos/45545627961/


Kegiatan ini didukung oleh/the projects was supported by
para partisipan di/participants in Bandung & Yogyakarta, BTW space (ruang alternatif/alternative space Bandung), iF venue (ruang alternatif/alternative space Bandung), Zona 39 (museum mainan & lainnya/toys museum & other Bandung), Open Circuit Comunity/Artuary (Yogyakarta), PUSdEP (Pusat Sejarah dan Etika Politik/Center for History and Political Ethics Universitas Sanata Dharma - Yogyakarta), INSIST Press (Yogyakarta), Titik Tiga Film (Yogyakarta), The Maps (Peta Distro - Yogyakarta), Teapot Studio (Yogyakarta).

Sep 21, 2014

Calm Explosion

 (scroll down for English)



Adalah sebuah karya instalasi yang bereksperimen pada video performance, objek temuan dan bau-bauan. Karya ini adalah hasil dari sebulan residensi di Theertha International Artists' Collective, Colombo, Sri Lanka. Selama sebulan para seniman residensi berkeliling kota, berdiskusi tentang temuan dan apa saja yang hendak kami angkat menjadi karya. Ketika itu kondisi Colombo sedang tidak enak, banyak bom dan tentara ada dimana-mana, kami yang bukan orang Sri Lanka cenderung tegang menghadapi situasi ini. 

Is an installation work that experimented on video performance, found object and olfactory elements. This work is the result of a month residency in Theertha International Artists' Collective, Colombo, Sri Lanka. During the residency most of the artists go around the town, than discuss the findings and what we are trying to explore for our work. At that time the Colombo conditions are unpleasant, four bomb blasts and soldiers are everywhere, some artists that are not originally from Sri Lanka tend to be very nervous facing this situation.


Setelah dua minggu mengalami kehidupan disana, saya mulai memiliki beberapa ide, namun nyaris kesemuanya tidak memungkinkan untuk terealisasi karena mengalami benturan dengan kondisi kota. Saat itu Theertha tidak menekan kami untuk harus menghasilkan suatu karya, mereka hanya mewajibkan kami untuk presentasi pengalaman. Sampai suatu ketika saya melihat area pembuangan sampah dan mendapatkan ide untuk melakukan performance art disana. Dari ide tempat saya jadi mengumpulkan sampah buangan galeri dan rumah tinggal, untuk kemudian menjadi kesatuan karya di ruang tertutup.

After two weeks there, I started to have some ideas, but almost all of it impossible to be realized because of the condition of the city. Theertha not hoping us to produce a work, they simply require us to do a presentation of our residency experiences. Until one day I saw a garbage disposal area and got the idea to do a performance art there. From this idea than I start to collecting the waste from galleries and our homes, to then become a combination of art work elements in a confined space.


Hal paling utama yang ingin saya kedepankan dalam karya ini adalah tentang kondisi manusia yang hidup dibawah konflik berkepanjangan. Sempat bertemu beberapa orang yang pernah berdemo ketika masih mahasiswa, namun kemudian mereka dibungkam dengan berbagai cara, bahkan kampusnya sempat ditutup. Periode pembungkaman terjadi diberbagai lapisan masyarakat sekitar sepuluh tahun sebelum kedatangan saya. Sehingga ketika saya datang, mereka sudah dalam periode yang tidak aktif. Memilih diam, membiasakan diri dalam situasi seburuk apapun. Semua orang yang saya temui mempunyai pengalaman menjadi korban langsung maupun tidak langsung, entah saudaranya tewas ataupun luka-luka ringan-parah terkena bom. Hal yang paling saya rasakan adalah adanya ketegangan dalam pemilihan sikap diam mereka, bertahan hidup dengan segala kondisi yang ada.

The main thing that I want to say about this work, is about the human condition that live under prolonged conflict. Met some people who've demonstrated when still a student, but then they are repressed to be silenced in many ways, even the government was closed the campus. The repress period occurs in various society, about ten years before my arrival. So that when I come, they are in silence. Choose to keep in silence, as a successful form of self adapting in any situation. All the people I met had the experience of being a victim, directly or indirectly, whether his brother was killed or injured by a bomb blasts. I feel the tension in their silence, a survival matter to accepting all existing conditions.


Di sisi lain, kedatangan saya tepat pada bulan perayaan Waisak. Sebagian besar penduduk Sri Lanka beragama Budha, sehingga perayaan terasa di berbagai sudut kota. Rumah-rumah menawarkan makanan yang mereka masak kepada kami yang lewat. Ketika mendatangi beberapa Wihara, tampak banyak sekali orang yang beribadah dengan khusyuknya. Rumah-rumah mereka juga dihiasi dengan berbagai hiasan ke-Budha-an. Bayangan saya atas betapa damainya Budha pupus ketika bertabrakan dengan kondisi konflik, keduanya hadir bersamaan, begitu dekat, begitu riuh.

On the other hand, i'm there during the month of Vesak celebration. Most of Sri Lankan population are  Buddhist, so the celebration was happen everywhere. The houses offer food for us that passing their places. Lot of peoples devoted in deep prayer at the temple. Their houses are also decorated with various ornaments to Buddha-hood. My imagination on how peaceful Buddhist dashed when it collided with the conditions of conflict, both present together, so close, so boisterous.


Saat saya mendatangi area pasar, saya melihat kebanyakan para perempuan memakai sari. Rambut mereka semua panjang, banyak penjual rambut palsu. Sementara saya yang jalan memakai kaos dan celana pendek malah sempat diludahi seorang pria. Sehingga ketika saya tanya beberapa orang, mereka bilang kalau perempuan bersari dan berambut panjang lebih dihargai, karena mereka biasanya guru atau pegawai pemerintahan. Dari beberapa percakapan kondisi para perempuan juga jauh lebih nyaman di Indonesia, para lelaki jadi terasa lebih berwibawa dan menghargai. Para perempuan merasa lelaki disana tidak suka bila mereka berpendidikan dan bekerja, kecuali kerjaan yang mulia (seperti guru atau di pemerintahan). Apabila mereka aktif, lalu jarang memakai sari dan berambut pendek, akan di cap perempuan tidak benar.  Keperawanan juga hal yang sangat dijunjung tinggi, beberapa suami menyimpan sari putih bekas malam pertama bersama istrinya, karena bercak darah lepas keperawanan menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka. Sari berwarna putih perlambang kesucian, biasanya dipakai untuk ibadah, banyak dipakai kaum Brahmana, juga untuk upacara kematian. Sementara sari berwarna merah dipakai saat perayaan, misalnya pernikahan, menyimbolkan dominasi-gairah-sensualitas; juga dipakai perempuan yang sudah menikah saat meninggal.  

When I went to the market, I saw most of the women wear saris. Mostly in a long hair, but in the same time there are many fake hair sellers. Mean while, I walk on the street wear shirts and shorts, a man spat on me. So when I asked some people, they said that the long-haired female who wear saree are much appreciated, because they are usually teachers or government employees. From several conversations, I also found out the female condition is much more comfortable in Indonesia, make me see the men are more dignified and appreciated to the woman. The women find men there do not like it when they are educated and working, except the noble work (such as a teacher or in government). When they are active, and rarely wear sari and short hair, women will labeled not properly. Virginity is also something very upheld, husband kept the white sari after the first night, because of the bloodstains is a pride for them. White sari symbol of purity, used for worship, much worn by Brahmins, also for funerals. While red sari worn during celebrations, such as marriage, symbolizing dominance-passion-sensuality; also used by females who are already married when they died.


Theertha International Artists' Residency Exhibition
Red Dot Gallery
8 - 17 June 2008
Colombo, Sri Lanka

Jun 8, 2014

In The Name of Love

(please scroll down for English)

Sebuah kisah bagaimana cinta bisa menjadi alat, dengan atas namanya seolah semua tindakan adalah mulia. Pada karya ini saya meminjam salah satu pemanfaatan atas rasa ini, yakni bersetubuh. Lebih mulia ketika persetubuhan tersebut dilakukan dengan PSK, selesai pake bayar. Tetapi manusia bisa menggunakan cinta sebagai upaya untuk mendapatkan persetubuhan gratis, lebih malu bayar PSK daripada menipu pasangan bersetubuhnya. Membuai dengan menyalah gunakan rasa cinta, lantas minggat karena sebenarnya hanya ingin ngasih makan nafsu. Nafsu dan persetubuhan manusiawi, tapi menggiring seseorang untuk melakukan sesuatu atas nama kemuliaan rasa cinta adalah tidak manusiawi. Contoh diatas adalah satu yang termudah atas prilaku manusia untuk memanipulasi, agar hasrat dapat terlaksana. Kalau saya perluas lagi, atas nama cinta juga bisa membuat seseorang meledakan seisi kota. 
A story of how love can be a tool, all action seemed noble in the name of it. In this pieces I borrow one of misappropriation of these feeling, which it's sex. More noble when sex was committed with a prostitute, pay after doing it without any harm. But humans could use love as an attempt to get free sex, more embarrassed paid a prostitutes than cheated to the sex partner. Cradles the misuse of love, then disappear after fulfilling the desire. Lust and sex are humane, but lead someone to do something on honouring love is inhumane. That just one of easy example of manipulative human behaviour, to accomplished the desire. If I widening it, someone can blow the whole town in the name of love.
Catatan kaki dalam karya ini adalah ide properti yang muncul dikepala saya, kutang & celana dalam. Akan tetapi saya terganggu ketika sebuah pertunjukan yang memiliki kemungkinan menyibak bagian tubuh tertentu. Penyebabnya adalah pengalaman melihat sebuah performans, dimana pelakunya adalah perempuan, ketika itu beberapa penonton dikanan-kiri saya  heboh dengan keseksian tubuh pelakunya, bukan pertunjukannya. Apalagi performans cukup terkenal rajin menelanjangi tubuh, bahkan dalam berbagai pertunjukan tidak tampak ada alasan yang jelas. Atas ganguan ini maka tantangannya adalah membuka kutang & celana dalam tanpa harus telanjang. 

The footnotes of this work is the idea of ​​that appears as performance properties, brassiere & panties. But I am disturbed when a performance has the possibility of exposing specific body parts. It's because my past experience of watching on a performance, where the performer is female, while the number of spectator on my right and left of me get busy with how sexy is her body, not the performance. Moreover, many of the performances pieces well known for it's nudity, even in some of the performances (that I been watch) has no strong background appear while doing it. For this the challenge is to open the brassiere & panties without exposing my self.
Catatan kaki lainnya adalah bagaimana memancing penonton untuk menyaksikan lebih dekat. Bagaimana menghapus ruang batas penampilan, memprovokasi penonton untuk mengacuhkan batas tersebut. Atau bagaimana saya menciptakan ruang penampilan yang terbuka, sehingga penonton tidak canggung untuk mendekat. Ketika itu satu-satunya cara yang melintas dikepala saya adalah menuliskan kalimat diatas permukaan dipan, tidak menuliskannya sambil berdiri tegak dipapan belakang dipan. Namun tampaknya ekseperimen saya masih belum berhasil, karena penonton baru mendekat setelah saya meninggalkan ruang tampil.

Another footnotes is how to make the spectators being more closer. How to erase the stage boundaries, provoking the audience to ignore the bounds. Or how to created an open space, so the audience is not awkward to be more closer. The only way across my mind during that time is to writes a sentence in the
couchette, not write it down while standing upright on the board behind. But it seems the experimentation haven't succeeded, because the spectators come closer after I left the performance space. 
The 2 nd IAPAO meeting
Rumah Nusantara, Bandung
April 27 th, 2004
(photos taken by Agus Bebeng)