Popular Posts

Showing posts with label culture. Show all posts
Showing posts with label culture. Show all posts

Nov 27, 2016

BUMI MANUSIA

(artikel ini dibuat sebagai laporan ke Galeri Nasional pada 24 Feb 2016)

Pada akhir Januari saya berpartisipasi dalam Kolkata Internasional Performance Art Festival 2016 (KIPAF16). Sampai disana subuh dan masih gelap, seluruh pemandangan kota tampak samar, hanya terasa udara yang sangat dingin –disana sedang musim dingin. Saya tinggal di rumah Tapati Chowdhury, perilaku keluarganya sama seperti di Indonesia, orang tua yang perhatian dan dekat. Dengan segera terasa nyaman dan enak tentunya, saya merasakan kehangatan rumah pada umumnya, hanya jenis makanannya saja yang berbeda.

Sorenya Tapati Chowdhury mengajak saya bergabung dengan rombongan KIPAF16 yang sedang melakukan promosi di tengah New Market. Rombongan KIPAF16 memulai promosi bergaya open session, seseorang menggambar pakai kapur di lantai, di area terbuka tengah pasar. Orang-orang yang sedang berada di pasar tersebut dengan segera mengerumuni gambar tersebut. Kapur yang dibawa warna-warni, kami semua diberi sebongkah untuk turut merespon, anak-anak gelandangan juga bersukarela menyelesaikan gambar tersebut.

Seorang diantara rombongan KIPAF16 tampak jalan keliling membawa lembaran foto-kopian keterangan event, ember kecil untuk donasi. Kemudian sebuah lapak digelar, terdapat kaos KIPAF16, kartu pos dokumentasi performance art, serta pernak-pernik keterampilan lainnya.

1//
Besoknya kami bertemu untuk orientasi seluruh titik tampil, dimana KIPAF16 menjelajahi wilayah Utara kota Kolkata. Pertama semua bertemu diluar stasion Girish Park Metro, jalan menuju taman Hedua. Di taman tersebut terdapat kolam tua yang lebih tampak seperti danau buatan, namun kolam ini dikelilingi pagar yang cukup tinggi.


Foto diambil dari halaman facebook Sakinah Alatas

Dalam paparan yang mereka sampaikan dijelaskan bagaimana mereka melihat kota, contohnya lokasi tempat pertemuan kami tersebut (taman Hedua), banyak taman kota atau tempat berkumpul tengah kota; namun selalu ada pagar pembatas yang membuat orang orang berjarak, hanya bisa melihat.

KIPAF mulai berlangsung sejak 2012, di inisiasi oleh organisasi Performance Independent (Pi). Tujuan Pi melalui KIPAF adalah untuk membuka kota Kolkata sebagai tempat performance art, beserta intervensinya. Sehingga pemilihan lokasi sebagian besar di wilayah terbuka. Setiap tahun ada titik-titik jelajah baru dalam kota Kolkata, berdasarkan prilaku orang-orang serta kebendaan di sekitar titik tersebut.

Sebagaimana penjelasan dalam pertemuan di Taman Hedua, tema KIPAF16 adalah Why Kill A Mocking Art, dengan masih memegang semangat menduduk-kuasa ruang terbuka. Sebagaimana dalam blog KIPAF16, tema ini memiliki kumpulan pertanyaan: “Apa yang membuat kita mengejar prioritas, mengapa hal tersebut diperlukan? Di mana kita menemukan keintiman dalam performance art? Bagaimana kita menginterogasi aspirasi yang sangat intim, yang mendorong kita terhadap aksi?”

Lantas pertanyaan tersebut dilanjutkan dengan beberapa turunannya: “Bagaimana kita memposisikan antara performance art dan seni pertunjukan? Apakah sebuah jalan adalah ruang? Hubungan antara ketinampilan, aksi dan kepenulisan?”



Foto diambil dari halaman facebook Sakinah Alatas
Chirantan Mukhupadhaya menanyakan respon saya atas kumpulan pertanyaan tersebut. Lantas saya menjawab bahwasanya hal yang sangat mirip juga berjalan dalam pikir saya. Saya terus belajar dan bertanya mengenai bagaimana membakar gagasan, memprioritaskan ragam pilihan jalur kekaryaan. Mempertanyakan bagaimana menata suatu gagasan menjadi sebuah konsep, mempertanyakan suatu bentuk karya yang mewakili orang banyak sehingga tidak sulit ditangkap para penikmat; serta pengembangannya melalui percakapan pro/kontra setelah menghadirkan sebuah karya.

Berusaha menyusun konsep yang tepat tanpa berlebihan atau berkekurangan, mencari jalan yang dekat atau setidaknya tidak sulit untuk ditangkap para penikmat karya. Seandainya ada satu disiplin kesenian yang tidak saya kuasai, maka saya akan mengajak beberapa rekan lain untuk saling mengisi.

Pertanyaan dan jawaban atas penjelasan tema tersebut, kembali hadir dalam kepala saya saat pertemuan di Taman Hedua. Kemudian tim KIPAF16 mengumumkan jadwal selama empat hari kedepan, lokasi-lokasi yang akan disinggahi. Di akhir pertemuan kami diberitahukan untuk memilih lokasi yang ingin kami pergunakan untuk tampil. 

Setelahnya kami semua berjalan ke taman lain bernama Company Bagan. Disana terdapat sebuah lapangan besar, tampak banyak kelompok bermain cricket. Selain itu terdapat berbagai taman kecil-kecil berpagar, dengan patung dan relief.





Melalui jalan kecil kami menuju ke wilayah Pathuriaghata, area pemukiman tertua di Utara kota Kolkata. Kami memasuki bangunan pribadi agak tertutup, seperti sebuah komplek kos kosan 3 lantai yang cukup luas. Beberapa ruang tampak dipakai untuk kantor, ruang pertemuan dan sebuah area sembahyang. Ditengahnya terdapat ruang terbuka yang cukup lebar. Seluruh partisipan dapat memilih seluruh lantai dasar sebagai arena performance art.

Setelahnya kami jalan menuju stasion Baghbazar yang bersebelahan dengan Sungai Gangga. Tidak langsung menaiki kereta, kami berjalan mengitari kawasan stasion tersebut. Lajur kereta tersebut merupakan jalur tertua yang mengelilingi kota Kolkata, yang sangat penting untuk mengangkut barang dagangan dari berbagai sudut kota. Begitu keluar stasion tampak sangat ramai dengan truk besar yang mengangkut berbagai dagangan, keluar masuk stasion tidak ada pintu khusus, banyak pedagang dan orang tidur di lantai.

Menaiki kereta Chakra Rail kami menuju Stasion Majerhat. Perjalanan menuju Majerhat memakan waktu satu jam lebih, sehingga didalam kereta banyak berlangsung diskusi dan sebagian besar mulai berimprovisasi, bermain musik sampai melakukan aksi merespon ruang dalam kereta.

Setibanya di stasion Majerhat, beberapa orang melakukan performance art di lajur kereta yang kosong. Ada yang tidur di rel, ada yang berkerumun saling bersandar dan mengelilingi kerumunan dengan benang. Ada yang menulis di tembok. Sementara beberapa orang masih bermain musik.



Foto diambil dari halaman facebook KIPAF16
Tak lama beberapa orang petugas keamanan hadir. Mereka bertanya karena khawatir tindakan beberapa seniman di kawasan tersebut dapat membahayakan nyawa. Tampak beberapa tim KIPAF16 berkomunkasi dengan petugas keamanan, sementara prosesi performance art tetap berlangsung, begitupun yang bernyanyi. Setelah agak lama, panitia memberitahukan bahwa petugas keamanan meminta beberapa foto dari tiga kamera untuk kemudian menghapusnya, tetapi lucunya sebelum dipertunjukan kepada petugas file foto-foto tersebut sudah di pindah ke laptop.

Bagi saya cara Pi bernegosiasi dengan petugas cukup menarik. Menurut Tapati Chowdhury mereka sudah pernah mencoba mengajukan perijinan, namun yang terjadi adalah mereka di lempar ke berbagai lembaga pemerintahan. Menurutnya pihak pemerintah kebingungan harus mengkategorikan performance art kemana.

Lagi pula para petugas biasanya menghampiri apabila ada laporan dari masyarakat, begitupun sebaliknya, masyarakat dapat membela apabila mereka tidak terganggu. Umumnya masyarakat dengan antusias menonton (bahkan terlibat) dalam performance art, beberapa lainnya cukup terhibur/terwakili dengan penampilan para performer.

Dilain kesempatan Rahul Bhattacharya menjelaskan bagaimana mereka melakukan pendekatan terhadap satu titik yang ditunjuk untuk arena para penampil performance art. Mereka akan melakukan kunjungan ke titik tersebut secara berkala, mengamati ragam aktivitas yang berlangsung, kemudian melakukan beberapa performance art sederhana. Kesemua tahapan tersebut dilaksanakan, agar orang-orang yang biasa berada di lokasi tidak begitu terkejut ketika festival berlangsung.

Setelahnya kami kembali ke stasion Baghbazar, lalu duduk-duduk di pelabuhan kecil pinggir Sungai Gangga. Mengamati aktivitas pinggir sungai, banyak orang duduk-duduk disana.

2//
Tibalah saat rangkaian performance art di mulai, berlangsung padat selama tiga hari dengan total 46 seniman berpartisipasi. Belum termasuk beberapa seniman lain yang melibatkan diri secara langsung dalam open session. Beberapa seniman melakukan performance lebih dari sekali, ada juga yang kerap merespon beberapa seniman lainnya.

Nyaris seluruh performance art memiliki makna yang dalam. Tidak semua seniman berada di lokasi yang jelas, ada yang muncul secara tiba-tiba di kerumunan, serta tampil saat berpindah dari lokasi yang satu ke lainnya. Ada juga yang melakukan durasi panjang.

Sepanjang tiga hari tersebut saya harus selalu waspada menangkap apa saja yang terjadi di sekitar. Apakah kejadian yang memang umum terjadi di lokasi tersebut, atau memang dilakukan dengan maksud berkarya seni.

Tangkapan pertama saya adalah penampilan Anupam Saikia di Pathuriaghata. Penampilan Anupam terinspirasi isu dibalik bunuh diri Rohith Chakravarti Vemula, yang terjadi seminggu sebelumnya.


Rohith seorang mahasiswa PhD dari kampus yang sama, kini kematiannya memicu serangkaian protes di seluruh India. Catatan bunuh diri Rohith terbit di koran, bunuh diri dia lakukan sebagai pernyataan politis atas diskriminasi kasta yang dialaminya. Dia kaum Dalit, kasta terendah kelima, yang kini tidak ditulis dalam runutan kasta dalam sistem Varna (Hinduism).

Anupam memprotes keadaan tersebut. Benang putih dikalungkan melintasi tubuhnya seperti para Brahman (kasta tertinggi), memakai peci dan sarung. Kemudian sambil berkaca dia mencoreng wajahnya, memberi bindi di keningnya kemudian menulis “I Have Becoming A Monster” ditubuhnya.

Dalam KIPAF16 tidak hanya penampilan Anupam yang terinspirasi dari peristiwa bunuh diri Rohith, ada banyak sekali penampilan yang mengangkat tentang ini. Apakah terus menerus menampilkan wajah Rohith adalah satu-satunya cara untuk meneruskan perjuangannya, ataukah melakukan gerakan mengisi ruang kesana-kemari dengan cepat dan berteriak adalah cara seragam lainnya, atau membakar-bakar kertas koran banyak-banyak juga melilit tubuh dengan benang/lakban/tali/perban, menggelontorkan banyak-banyak cat merah/hitam adalah satu-satunya cara menyampaikan pesan?


Foto diambil dari halaman KIPAF16 di facebook
Penampilan Inder Salim di lokasi yang sama hari berikutnya juga mengambil isu yang sama, namun ditampilkan tidak seragam. Dia cenderung mengajak ngobrol penonton. Membuka kertas dengan nama Rohith, meletakan plakat Hindustan Ratan. Kemudian menegulingkan pohon mini, menjelaskan bahwa pohon tersebut biasanya disakralkan. Kemudian membaca catatan bunuh diri Rohith sambil terus mempertanyakan diskriminasi sedemikian banyaknya di India.

Inder Salim menyatakan bahwa Republik India telah memberikan penghargaan Bharat Ratna kepada para petinggi di masyarakat yang dibatasi sampai 45 individu. KIPAF16 menjadi wadah baginya sebagai seri kinerja Hindustan Ratan untuk memberikannya kepada 45 warga radikal India, yang bekerja dan hidup dengan membuat perbedaan untuk gerakan perjuangan minoritas di seluruh negeri. 

Pertama Bengal Ratan diberikan kepada Rohit Veluma pada 24 Januari 2016, catatan bunuh diri Rohith menjadi tanda perlawanan. Sebagaimana yang diterbitkan di indianexpress.com, catatan bunuh diri Rohith:
Good morning, 
I would not be around when you read this letter. 
Don’t get angry on me. I know some of you truly cared for me, loved me and treated me very well. 
I have no complaints on anyone. 
It was always with myself I had problems. 
I feel a growing gap between my soul and my body. 
And I have become a monster. 
I always wanted to be a writer. A writer of science, like Carl Sagan. 
At last, this is the only letter I am getting to write. I always wanted to be a writer. 
A writer of science, like Carl Sagan. 
I loved Science, Stars, Nature, but then I loved people without knowing that people have long since divorced from nature. 
Our feelings are second handed. Our love is constructed. Our beliefs colored. 
Our originality valid through artificial art. 
It has become truly difficult to love without getting hurt. 
The value of a man was reduced to his immediate identity and nearest possibility. To a vote. 
To a number. To a thing. Never was a man treated as a mind. 
As a glorious thing made up of star dust. In every field, in studies, in streets, in politics, and in dying and living. I am writing this kind of letter for the first time. 
My first time of a final letter. Forgive me if I fail to make sense. 
My birth is my fatal accident. I can never recover from my childhood loneliness. 
The unappreciated child from my past. 
May be I was wrong, all the while, in understanding world. 
In understanding love, pain, life, death. 
There was no urgency. But I always was rushing. 
Desperate to start a life.
 All the while, some people, for them, life itself is curse. 
My birth is my fatal accident. 
I can never recover from my childhood loneliness. 
The unappreciated child from my past. I am not hurt at this moment. 
I am not sad. I am just empty. Unconcerned about myself. 
That’s pathetic. And that’s why I am doing this. 
People may dub me as a coward. And selfish, or stupid once I am gone. 
I am not bothered about what I am called. 
I don’t believe in after-death stories, ghosts, or spirits. 
If there is anything at all I believe, I believe that I can travel to the stars. 
And know about the other worlds. 
If you, who is reading this letter can do anything for me, I have to get 7 months of my fellowship, one lakh and seventy five thousand rupees. 
Please see to it that my family is paid that. 
I have to give some 40 thousand to Ramji. 
He never asked them back. But please pay that to him from that. 
Let my funeral be silent and smooth. 
Behave like I just appeared and gone. Do not shed tears for me. 
Know that I am happy dead than being alive. 
“From shadows to the stars.” Uma anna, sorry for using your room for this thing. 
To ASA family, sorry for disappointing all of you. 
You loved me very much. I wish all the very best for the future. 
For one last time, Jai Bheem I forgot to write the formalities. 
No one is responsible for my this act of killing myself. 
No one has instigated me, whether by their acts or by their words to this act. 
This is my decision and I am the only one responsible for this. 
Do not trouble my friends and enemies on this after I am gone.


3//
Rangkaian performance art lainnya ada yang menuai senyum para penonton. Misalkan presentasi “SAC Travel” oleh Vidisha Saini dan Alex Yudzon. Mereka tampil singkat setiap harinya, sesaat sebelum makan siang. Mereka tampak benar-benar seperti mempresentasikan sebuah usaha paket tamasya. Namun apabila benar-benar didengarkan, penjelasannya banyak mensatirkan kondisi yang dilakukan para turis ke kota-kota eksotis.

Kalimatnya mereka buka dengan: Travel SAC adalah sebuah perusahaan berpikiran progresif, bertanggung jawab lokal-global dan bergerak mengkhususkan diri dalam lini produk inovatif yang meringankan kesulitan bepergian ke luar negeri. 

Kemudian mereka akan membagikan jepit jemuran plastik untuk dijepit di hidung para penonton. Sambil terus menceritakan betapa menyenangkannya membeli produk (jepit jemuran) tersebut. Bagaimana kita memfoto kampung miskin dan melihatnya sebagai komoditi wisata.
Saya langsung ingat dengan menjamurnya desa-desa wisata di Indonesia, mengubah bentuk rumah agar bertaraf internasional, menyoroti hal-hal di desa mereka yang kira-kira bisa menjadi eksotis, guna memanjakan para turis.

Sebagaimana dalam catatan Srinia Chowdury, dia menangkap sebuah sindiran atas kekejaman suatu merek, bagaimana sebuah produk biasa diiklankan sedemikian rupa sampai menjadi luar biasa.

Karya lain yang penampilannya juga memberikan senyuman adalah Mohamad Haryo Hutomo dan Sakinah Alatas. Mereka membagikan balon hati merah sambil jalan ke Company Bagan.

Sesampainya di taman, Haryo mengajak para penonton berpelukan. Sementara saat orang-orang saling memeluk, Sakinah membungkus tubuh mereka dengan kain kuning. Lingkar peluk menjadi cukup besar, orang-orang terus diajak berpelukan sampai kain kuning yang mereka lilitkan habis. Setelahnya mereka sedikit bergerak ke suatu arah, sehingga semua terpaksa ikut bergerak.





Saat itu kami mendiskusikan betapa penampilan tersebut seperti monumen bergerak. Orang-orang yang terlibat berpelukan juga beragam, mulai dari sesama seniman sampai orang-orang asing dan anak-anak di taman itu juga ikut.

4//
Dua penampilan yang berada di antara adalah Ali Asgar. Di sepanjang perjalanan dari Pathuriaghata ke Company Bagan, Ali mengambil foto selfie menggunakan telpon genggamnya.




Ali menghampiri orang-orang untuk foto bersamanya, dengan memakai kerudung, lipstik, membawa cermin serta mengalungkan citra dewa Hindu. Beberapa orang tampak nyaman serta bersukarela saat foto bersamanya.

Kini nyaris di semua akun sosmed kita bisa melihat jutaan orang melakukan hal yang sama, foto menggunakan kamera depan telpon genggam (selfie maupun wefie). Entah keterangan fotonya berbau filosofis maupun iklan suatu kawasan, bahkan para biksu melakukan hal yang sama dalam perayaan Waisak di Candi Prambanan.

Ali berasal dari Bangladesh, saat dia memakai lipstik dan berkerudung, membuat saya membayangkan hidup sebagai gay (apalagi waria) di negaranya pasti sangat berat.

Penampilan lainnya oleh Monica Nanjunda, duduk bersila dalam diam sepanjang hari di sudut koridor bangunan Pathuriaghata. Monica duduk beralaskan terpal biru, serta sekantong beras didekatnya. Geraknya pelan dan konstan mengambil butir beras sedikit demi sedikit, terkadang membentuk huruf, ataupun hanya menumpuk sebagian disatu sisi. Kemudian beras yang dia sebarkan tersebut dimasukan kembali kedalam kantong.





Disampingnya terdapat teks bertuliskan “Kau mengingat terlalu banyak. Ibu saya berkata kepada saya baru-baru ini, mengapa berpegang pada semua itu? Saya-pun berkata, dimana bisa meletakannya? Kemudian ibu saya akan mengalihkan pembicaraan jadi tentang bandara.”


Ketika rombongan berpindah ke stasion Majerhat, Monica masih melakukan hal yang sama. Kali ini dibawah tiang listrik. Hanya diam dan bermain butir-butir beras. Apabila ada yang berinteraksi dengannya, dia akan menanggapi masih dalam diam. Saat Chirantan Mukhopadhaya mengulurkan tangan, Monica memberi bebrapa butir beras.


5//
Saya memilih tampil di Taman Hedua. Membawa telur ayam putih yang sudah saya isi dengan Alta. Meletakannya di atas sobekan koran di bangku tegel, dibawah lampu taman. Kemudian telur-telur tersebut saya pecahkan menggunakan kening, sambil berpose layaknya sedang bersujud, saat telur mentah tersebut pecah, warna kuning melebur dengan merahnya Alta.

Alta adalah pewarna merah dari serangga yang hidup di pohon (Lac insect), biasa dipakai saat ritual Hindu dalam pernikahan dan kematian. Saat menikah mempelai perempuan akan memakai ini di kakinya, dengan gambar motif sebelum masuk rumah. Perbedaannya dalam upacara kematian, pewarna diterakan di telapak kaki tanpa gambar, sebagai simbol penghargaan atas rasa duka.





Saya membawa koran Jakarta Post yang saya ambil sebelum terbang ke India. Saat itu masih segar berita tentang pemboman dugaan teroris di Jakarta. Lima berita dari koran hari itu berkisah tentang berbagai konflik yang sedang berlangsung di dunia.

Saat foto-foto penampilan ini di unggah di halaman Facebook KIPAF16, mereka menjudulinya “Civilisation & Fragility”, dengan segera saya menyukainya.


Sudah bertahun-tahun saya mempertanyakan tentang konflik/perang di dunia yang memakan banyak korban nyawa, terutama pertentangan antar agama. Keyakinan seseorang yang seharusnya sangat subtil dalam inti jiwa kerap dipaksakan untuk membuncah keluar, memaksa orang lain untuk berkeyakinan sama.

Lepas dari berbagai penampilan tersebut, hal yang membuat saya bahagia adalah saat beberapa penonton mengajak berdiskusi, langsung setelah saya tampil.


Seorang bapak sambil menggendong bayinya, juga sangat khawatir dengan perkembangan kumpulan fanatik Hindu di India. Layaknya perkembangan kelompok fanatik Islam di Indonesia. Kami sama-sama khawatir membayangkan apakah dikemudian hari para manusia akan lebih fanatik dan diskriminatif atas nama agama tertentu.

Hal yang sama juga ditampilkan oleh Chobi Zulfiqure dan Shubho O Saha, mereka duduk sambil menggigit sebatang kayu penyangga kertas bertuliskan religion yang di coret.


Foto diambil dari artikel I SAW oleh Srinia Chowdury di blog iKIPAF


Penutup
Penampilan yang sangat sederhana namun membekas. Bila kita menelusuri berita di internet, kita akan menemukan bahwa hari ini, banyak sekali kejadian mematikan di dunia akibat perang yang mengatas-namakan agama. Walau kita semua ragu, apakah benar manusia sudah tidak punya hati dan menghalalkan darah manusia lainnya.

Seluruh kisah yang saya paparkan diatas hanya seperdelapan dari berbagai aktivitas yang sangat padat terjadi, selama satu minggu Kolkata Internasional Performance Festival 2016.

Lega rasanya bertemu orang-orang dari berbagai negara dan berbagi kegelisahan yang sama. Tampaknya novel Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer yang berkisah tentang kondisi tekanan hidup di jaman penjajahan Belanda masih belum berubah. Penjajahan masih terus berlangsung, hanya kali ini seperti hantu yang rajin berganti pakaian, dipercaya ada namun tidak bisa diidentifikasi. 

Dec 21, 2015

Fakultas Percakapan

Sedari awal melamar residensi Yayasan Biennale Yogya ke Madagaskar saya membayangkan petualangan seru ke sebuah negeri antah-berantah, hal lain yang terkenal dan muncul seketika dikepala saya adalah kecoa raksasa (hishing cockroach). Apalagi setelah melihat kartun Madagascar (DreamWorks, 2005), penelusuran di internet yang menampilkan keanekaragaman hayatinya, juga info yang menyatakan orang-orang Indonesialah yang pertama datang kesana.

Membayangkan bertemu orang-orang, menyerap sebanyak-banyaknya pengalaman, menyelami situasi nyata kehidupan mereka. Saya kurang yakin dapat memproduksi sesuatu  bersama dalam waktu yang sedemikian singkat. Makin singkat membayangkan kerja sama dari nol, dari tidak kenal personalnya, situasi dan rasa atas kondisi hidup mereka, lantas menyerap sebanyak-banyaknya sesuatu yang lahir seketika atas pengalaman di waktu tertentu.

Tetapi setelah lamaran diterima dan Bu Neni memberi penerangan ringkas tentang Madagaskar, saya mulai curiga jangan-jangan disana akan jauh dari bayangan. Ibu sudah bilang suasananya mirip di Indonesia.


Sampai sana, persis seperti yang diterangkan Bu Neni, sekilas mirip sekali; bayangan atas kota antah berantah tidak muncul, mungkin karena saya banyaknya di Antananarivo (ibukota). Hari pertama saya tanya tuan rumah, Cecil dari Is’Art Galerie, katanya saya harus melakukan perjalanan yang cukup panjang dan lama, harus kepedalaman atau hutan untuk bertemu semua itu. Memang ada beberapa tempat organik (kebun binatang ataupun Lemur Park), tetapi juga tidak kesampaian sampai hari terakhir saya disana.

Maka segeralah bertemu orang-orang, Is’art Galerie menjadi poros utama pertemuan. Rapat pertama bersama mereka adalah pertanyaan tentang saya mau bikin apa. Saat itu saya belum bisa memastikannya, seperti dalam proposal lamaran “the plan is to have no plan.”

Hari pertama saya di Madagaskar (Minggu), Cecil mengajak saya piknik bersama keluarga Tahina. Sesampainya di lokasi piknik kami menunggu ibunya menyelesaikan acara di gereja, yang pucuknya terlihat tak begitu jauh diperbukitan sebrang kami. Lokasi lumayan panas, pohon-pohon disana meranggas karena baru saja di bakar untuk menghilangkan hama serangga.


Sembari menunggu, Tahina mengajak saya jalan ke gereja tempat ibunya, ditengah perjalanan kami berpapasan dengan ibunya. Tetapi kami tetap meneruskan perjalanan, area tersebut sekitar sejam perjalanan dari pusat kota. Memasuki desa saya melihat gereja Katolik. Kemudian gereja lama yang penuh sarang laba-laba. Tak lama kami berada di gereja yang pucuknya tadi kami lihat, didepan gereja semua orang berkumpul mengantri makanan. Setelah perayaan mereka biasanya makan-makan, dibagikan gratis pihak gereja.

Minggu depannya saya juga diajak ke gereja lain, karena Miora (salah satu partisipan lokakarya) bersama kelompok Gospelnya akan tampil. Rupanya itu perayaan tahunan, sama dengan gereja ibunya Tahina. Semua orang kembali/mengunjungi kampung untuk perayaan setahun sekali. Polanya mirip, bedanya di gereja sebelumnya tidak ada panggung pertunjukan.

Hal ini membuat saya berasumsi bahwa keluarga besar, merupakan lingkungan yang berarti dan mempunyai peranan penting atas diri masing-masing orang. Seperti umumnya keluarga di Indonesia. Hal ini di kemudian hari saya masukan dalam elemen lokakarya.


Saat itu yang ada dalam benak saya dasarannya akan mengeksperimentasi metode openness, tantangannya adalah membuat percepatan atas tahapan-tahapan tersebut; melalui semacam lokakarya mungkin bisa mendapatkan banyak pengetahuan di waktu yang bersamaan. Kemudian saya ajukan ke Is’Art Galerie untuk mengajak 4 – 8 orang, bebas seniman atau bukan yang penting mau berproses bersama.

kelompok 1
Kelompok ini awalnya tidak dibayangkan akan jadi tiga. Namun saya terganggu karena tidak memiliki varian gender, semua lelaki sudah saling kenal dan tidak memiliki varian latar belakang yang beda.

Ternyata Sarah (tim kerja Galerie) salah paham, dikiranya harus seniman dan dia kesulitan menemukan perempuan. Jadi aku menanyakan kemungkinan membuat kelompok dua, sebagai pengimbang baiknya perempuan semua.

Pencarian kelompok dua ini bersamaan dengan sesi awal dengan kelompok satu. Untunglah beberapa proses sudah diunggah ke album Facebook saya dan partisipannya sudah saya tandai di masing-masing foto; sehingga banyak pengguna FB yang berdomisili di Madagaskar me-like. Dari situ saya melihat ada sekitar 10 perempuan, semua saya kirimkan pesan, mengundang hadir dan terlibat. Satu turut serta, sebagian menjawab mereka diluar kota, sisanya tidak ada kabar.
kelompok 2
Kelompok tiga lahir saat berkenalan dengan Mirai, dia mengajak untuk mengadakan lokakarya ke Toamasina, serta akan mencarikan tempat dan orang. Setelah melihat jarak, waktu dan memastikan Sarah ikut sebagai penerjemah, maka diputuskanlah untuk datang kesana.

kelompok 3
Bersama kelompok saya melakukan semacam lokakarya, terdiri atas tiga tahapan:
  1.  Reflection // Perkenalan, Karakter
    Menggunakan post-it menuliskan nama lengkap dan panggilan, meletakannya di meja. Lanjut ke pertanyaan “what is art?,” pada kelompok tiga pertanyaan di ubah menjadi “what is life?.”



    Dari situ forum dibawa ke “5 rangkai pertanyaan,” pola ini aku ketahui dari seorang teman dan di internet disebut sebagai teknikpenyelesaian masalah
    . Bedanya teknik ini saya eksperimentasi untuk mempercepat tahap perkenalan.

    Jawaban dan rangkaian pertanyaan semua orang berbeda. Lantas disambung dengan menebak karakter dari pernyataan, pola menulis dan menyusun post-it. Susunan post-it ditempelkan di meja, di depan posisi duduk masing-masing, dihadapkan berlawanan, agar yang duduk berhadapan dapat saling membaca pernyataan masing-masing.


    Diakhiri dengan diskusi panjang, kata mereka menjadi reflektif ke diri masing-masing, bahkan perpanjangannya sampai apa yang bisa dilakukan masing-masing untuk lingkungannya, kondisi ekonomi yang sebenarnya bisa membantu banyak, serta bagaimana saling memahami diri dan orang-orang.
    Dari sesi ini tahapan opennes dari engaged -> sharing -> empathy segera meningkat. Kelompok dua tidak saling kenal, hanya tahun nama tapi tidak berinteraksi, namun sepulang dari pertemuan terjadi percepatan pertemanan. Terkejut dengan anggapan awal masing-masing, lebih mengenal dan merasakan satu sama lain. Demikian bagi saya terhadap seluruh kelompok. 
  2. Expedition // Perjalanan, Pengamatan, Pekerjaan, Keluarga
    Sesi kedua bisa dikatakan sesi utama. Tahap ini dilaksanakan diatas kertas coklat memanjang yang digulung. Didalamnya terdapat empat elemen, dimulai dari mempola telapak tangan yang biasa dipakai menulis di kertas, menggambar berbagai hal yang dilihat di jalan, disekitar pola telapak tersebut.


    Mempola telapak tangan ini terinspirasi dari kelakuan Nunun Tjondro, dia senang sekali meminta kami untuk mempola tangan di bukunya. Saya kurang tahu sebenarnya apa maksudnya, sementara bagi saya hal ini semacam peninggalan termudah dan terdekat dari seseorang.
    Kemudian elemen berikutnya adalah menulis perjalanan hari tersebut dari bangun tidur sampai waktu pertemuan, aktivitas/pekerjaan mereka, bagaimana hubungannya dengan keluarga masing-masing.
    Setelahnya mereka membaca-menerangkan-menceritakan semua yang mereka terakan pada kertas tersebut. Menceritakan dan teringat hal-hal yang luput, maka ditambahkan menggunakan warna lain.

    Sementara yang lain menyimak, bertanya apabila ada yang menarik. Beberapa kalimat menjadi kata kunci, untuk menjadi materi diskusi. Pernyataan semakin personal dan mulai diangkat. Diskusi menjadi semakin panjang, pengalaman mirip juga dialami orang lain, penambahan kisah tercantum pada bidang yang masih tersisa di kertas tersebut.
    Tahapan opennes yang sudah muncul dari sesi sebelumnya bertambah dengan “transparancy -> empowerment”. Pemaparan aktivitas/pekerjaan dan keluarga, muncul juga harapan-harapan, pencapaian yang belum atau enggan dilakoni karena tidak percaya diri, tidak yakin akan didukung keluarga.

    Kemudian karena tahap “engaged -> sharing” yang terbangun cukup baik di sesi sebelumnya, dengan otomatis semua saling “emphaty,” saling merasakan dan dengan organik, pencapaian “transparancy” ini diluar dugaan, tidak khawatir menyinggung saat memberikan saran terhadap satu sama lain.



    Mengapa sesi ini saya nyatakan utama, karena durasinya paling panjang bawaan dari pendalaman isi, tanpa ragu mengedepankan sisi yang lumayan sensitif atas diri ataupun bangsa. Pertikaian keluarga atas budaya menurunkan warisan, kepemelukan, kondisi keuangan yang semakin menipis bahkan pengeluaran lebih banyak dari pendapatan. Maupun yang umum tentang betapa menyedihkannya sejarah politik negara, tragedi masal ras/etnis/geografis, meningkatnya tingkat depresi, persoalan hasil bumi yang terus digerus orang asing, pemampatan jalur informasi maupun pengetahuan, minimnya lapangan pekerjaan, penjajahan yang tidak henti-hentinya masih mereka rasakan, dan lain sebagainya.


    Bagi saya yang paling menarik adalah percakapan tidak semata keluhan. Semua diiringi dengan solusi, pandangan positif, satu sama lain melakukan “empowerment;” setidaknya turut membantu untuk melihat dari sudut  pandang yang berbeda, bahkan penekanan untuk memperbanyak dan merealisasikan mimpi-mimpi tanpa kenal lelah. Memulai perubahan dari hal terdekat tampak kecil, sampai untuk orang banyak.      
  3. Expression // Nalar Wajar, Pernyataan
    Sesi terakhir terdiri dari tiga pertanyaan. Saya dapatkan dari metode ice-breaker untuk kelompok kecil, tapi saya pilih berdasarkan kesinambungan lokakarya yang sudah berlangsung. Juga melihat tingkat kejenuhan, apabila di sesi 1 dan 2 sudah didominasi dengan tulisan, berkisah; tahapan mengolah visual ini menjadi penyeimbang.



    Pertama semua menggambar tiga objek yang akan mereka selamatkan bila tempat tinggalnya terbakar. Kedua menggambar apabila lahir kembali sebagai binatang. Ketiga menggambar dengan memilih delapan visual dimana masing-masing pertanyaan terdapat dua pilihan, mulai dari: pisang atau wortel, televisi atau musik, populer atau pemenang, mendengar atau melihat, hiu atau macan, masa depan atau masa lalu, dingin atau panas, kasat mata atau membaca pikiran.

    Kelompok satu masih mempunyai waktu untuk menjelaskan masing-masing pilihannya. Sementara untuk kelompok dua dan tiga, sudah tidak banyak waktu, hal ini akan dibicarakan melalui group messanger FB.
    Sementara dari kelompok satu alasan-alasan yang dipilih beragam. Jawaban menyelamatkan tiga objek, rata-rata menggambar telpon genggam dan dokumen-dokumen penting. Kemiripan lain pilihan menyelamatkan benda yang berhubungan dengan profesi baru menyelamatkan pemberian.

    Ada juga yang alasannya sebab-akibat, api-asap bikin sesak dan haus, jadi yang digambar adalah topeng/masker anti asap dan sebotol air minum. Hal umum lainnya adalah pakaian. Tetapi alasannya lucu dari pakaian adalah gambar celana jeans, bayangannya ketika kebakaran malam hari dan dia selalu tidur tanpa celana.



    Lain halnya dengan memilih binatang pada elemen kedua sesi tiga. Ada yang menggambar Zebu, simbol keperkasaan juga keagungan; ikon Madagaskar yang adanya hanya di kawasan India dan Afrika. Dimakan dagingnya pada 
    perayaan tertentu, di pelosok banyak memiliki Zebu berarti tingginya status sosialnya.

    Sisanya binatang yang bisa terbang, hidup di laut dan berenang kesana kemari, bebas dan memiliki jangkauan yang luas. Ada yang menggambar kura-kura karena alasannya, membela perburuan liar yang mengakibatkan kepunahan. Unicorn karena percaya bahwa dia bukan binatang khayalan.

    Ragam penjelasan pada elemen ketiga/pertanyaan pilihan sesi tiga, lumayan banyak. Bahwa masa depan seperti mimpi, dimana kebebasan tertinggi berada disana. Menjadi kasat mata adalah kesempatan untuk melihat dunia tanpa batasan lalu hubungannya dengan keyakinan/kekuatan yang maha besar. Memilih masa lalu karena dianggap murni. Atau alasan-alasan logis, kepanasan menyebabkan alergi kulit, kalau kedinginan bisa memakai baju berlapis. Tidak memilih macan karena itu binatang pemalas.



    Hampir semua memilih melihat, hanya satu yang memilih mendengar. Seorang ibu guru yang hadir di presentasi menyatakan, hal ini dia temui dari lapis usia belia, kesimpulannya, mereka di Madagaskar sudah lelah mendengarkan, kini waktunya mereka bicara.



    Diskusi yang muncul tentang masyarakat tengah/pegunungan dan pinggiran/garis pantai, yang kaya/miskin, atau naik derajat karena menikahi orang asing. Kesenjangan yang lahir dari kepemelukan, antara penyembah leluhur dengan pagama-agama samawi. Derajat dan kesenjangan sosial antara yang tinggal di pusat (Antanarivo berada di pegunungan) dan yang tidak. Perbudakan yang terjadi antar manusia, maupun sebaliknya, melihat bangsa berkulit putih sebagai yang baik, disembah dan rela berbuat apa saja karena dianggap lebih pandai dan sumber satu-satunya penghasilan.

Dalam prosesnya, sebelum saya bertanya pada seluruh partisipan, mereka sudah aktif berkomentar atas pengalaman yang mereka dapat. Bertanya berbagai hal. Pertanyaannya dari “apakah pola berkarya saya selalu sama?” Jawaban saya ketika itu: tergantung, sempat beberapa kali dan selalu tertarik bentukan yang dikerjakan bersama, bereksperimen terhadap berbagai temuan metode dari mana saja, tidak melulu dari latar kesenian.

Komentar mereka selalu positif, dari sesi satu sudah ada yang menyatakan mereka terinspirasi, memicu kepenasaran dan tidak pernah dilakukan. Juga tidak pernah melihat bagaimana sesuatu bisa saling berkaitan, dimana perputarannya bisa membawa jauh ke hal-hal yang sangat luas.


Kemudian ditengah proses mereka melihat arah maksud lokakarya, mulai memahami apa yang sedang kami lakukan. Saya juga masih dalam proses berpikir, belum tahu perjalanan lokakaryanya akan membawa kemana. Ditengah lokakarya kelompok pertama saya masih memikirkan ide tentang tema “bahasa.”
Berangkat dari sulitnya mengobrol dengan mereka, kalau tidak ada Google translate ke bahasa Perancis (tidak berhasil mengunduh aplikasi terjemahan kedalam bahasa Malagasy) akan sulit sekali mendapatkan percakapan. Sementara saya mengandalkan bertemu orang-orang; alasan lain yang membuat saya memilih bentuk lokakarya.

cuplikan video presentasi kesesatan bahasa
Dari situ saya juga membuat video (00:16:51) “presentasi kesesatan bahasa.” Berisi latar belakang saya dan bagaimana bisa datang ke Madagaskar, serta tiga karya sebelumnya.  Saya terinspirasi tata presentasi Grace Samboh di Taipei, menggunakan kata/kalimat disetiap halaman, Presentasinya memunculkan rantai ide lain, bagaimana kalau kata-katanya tidak diucapkan tapi dihadirkan  dalam layar presentasi. Selain saya juga tidak bisa melafalkan bahasa Perancis, jadi untuk lebih mudahnya sekalian saya jadikan video bisu. Tentunya kata-kata dalam presentasi tersebut saya terjemahkan sembarangan kedalam bahasa Perancis.

Presentasi ini terjadi ditengah proses dengan kelompok pertama, kami semua menampilkan secara bergantian karya kami. Presentasi ini sangat berguna untuk memahami lebih jauh personil kelompok tersebut, untuk karyanya selain visual tidak saya temukan penjelasan lebih mendalam tentang karya masing-masing. Dari tiga kelompok mereka yang paling sulit berinteraksi, kebanyakan menampilkan dari sisi luar mereka, lebih diplomatis. Dua orang dari kelompok ini juga sampai akhir kurang memahami seluruh lokakarya. Menurut Cecil hal ini lumrah terjadi di Madagaskar, pengalamannya meneliti di negeri ini. Konon katanya para lelaki selalu demikian (diplomatis) sementara para perempuan lebih terbuka dan apa adanya. Saya tidak tahu apakah ini pengaruh dia (saya) yang sama-sama perempuan, atau memang demikian prilaku umumnya.

Sementara kelompok lain menyatakan diri paham atas lokakarya dan menurut mereka ini pengalaman yang berharga. Percakapan kami juga meluas keberbagai bidang masing-masing, misalnya salah satu peserta bernama Stephanie adalah mahasiswi Ornitologi (pengamat/ahli burung) yang sedang menysusun Ph.D-nya. Kami banyak berbagi diluar forum tentang kondisi lingkungan negara masing-masing, terutama kawasan hutan. Lantas bertukar pikiran tentang langkah apa yang sesuai dengan kemampuan, yang kami ambil sebagai pernyataan temuan kami. Dia juga menyatakan mendapatkan banyak hal yang membuka matanya, juga bahwa segala hal bisa ditemukan cara mengekspresikannya.


Memasuki lokakarya kelompok kedua, saya mulai menemukan “persepsi” merupakan tema yang lebih tepat. Berbagai hal yang saya tanyakan ke mereka berbanding terbalik dengan persepsi saya. Misalkan dalam post-it Eric, “free job” baginya adalah kebebasan bekerja, baik polanya maupun caranya. Dimana-mana saya temukan miss-perception, dugaan-dugaan ternyata bisa tidak nyambung.

Semakin yakin di kelompok dua, dimana nyaris semua berbahasa Inggris. Ketika Elodie menyatakan dia tidak mau menjadi “ibu rumah tangga,” ternyata maksudnya adalah bukan profesinya, tetapi kehati-hatian didalam mengambil keputusan; dia melihat keputusan yang disesali ibunya, untuk berhenti bekerja dan menyerahkan semua pada ayahnya.

Pertanyaan lainnya adalah apakah saya humanis. Saya pikir tidak sebegitunya, berangkatnya dari kesenangan mempelajari bagaimana manusia berinteraksi dengan cara kreatif, menghadapi sesamanya, menghadapi alamnya dan sebagainya; dimana hal ini kerap membongkar pasang penemuan karakter saya sendiri.

Sedikit kembali ke metode openness, saya tidak berhasil menyingkat waktu. Tahapan “collaboration,” walau saya juga kurang setuju dengan istilah tersebut; artinya masih bias dan kurang paham juga kenama kata itu. Saya pikir lebih cocok katanya adalah “cooperation,” karena yang saya bayangkan setelah rangkaian ini, bisa di olah-sandingkan dengan tahapan lokakarya yang sama di Indonesia, kemudian di tilik ulang, bahas bersama temuannya, untuk kemudian (juga bersama-sama) mencetuskan untuk membuat sesuatu. Mungkin suatu hari eksperimennya bisa sampai situ.


Sisi lainnya, penutup atau kesimpulan sementara proses lokakarya didapat dari percakapan dengan bapak Ranaivo, beberapa saat sebelum saya menyelesaikan display di hari presentasi. Beliau adalah ayahnya Sarah, Sarah yang bekerja di galeri dan juga ikut di kelompok dua. Dia bercerita pada ayahnya tentang proses lokakarya yang menyenangkannya. Hal ini  membuat ayahnya juga ingin bertemu saya. Begitupun saya, gegara Sarah bercerita dalam sesi keluarga, bahwa ayahnya adalah pensiunan pemandu wisata yang pernah bekerja dengan banyak peneliti keanekaragaman hayati, serta pernah bekerja di NASA.



Percakapan dengan Pak Ranaivo (b.1945) berlangsung dengan enak sekali. Obrolan kami mulai dengan cengkeh yang diselundupkan dari Halmahera, menurutnya juga dari Mexiko. Dilanjutkan dengan karakter pohon Boabab yang dalam batang utamanya berisi air, Lemur mini sebesar jempol tangan, sampai berbagai keanekaragaman hayati lainnya. Lalu tak bisa dihindari obrolan menuju ke nasib buruk alam rimba Madagascar, longgarnya hukum dan korupsi pemerintah yang membuat beberapa negara asing menguras yang kurang bertanggung jawab. Sampai akhirnya ke seri presiden yang hanya menjadi boneka kolonisasi, dia mencotohkan dari lambang yang masih saya lihat di pojok bawah peta rute (yang juga tidak jelas struktur petanya) halte angkutan umum. Lambang Zebu khas Madagascar dan Fleur-de-lys (bunga Lily Perancis yang modis). Lanjut ke pekerjaannya di stasion NASA  (35 km barat kota) sebagai pencatat transmisi data dari satelit yang berputar mengitari bumi. Pengetahuan yang di tahan untuk sampai ke masyarakat. Sampai kerusuhan 2009 yang membuatnya traumatis, kemudian melahirkan bandit-bandit yang kini menggangu manusia dimana dahulu hanya mengincar Zebu.

Pembicaraan kembali ke alam raya dan hubungannya dengan manusia, seperti istilah Malagasy yang dia ucapkan “Ny Fanahy No Dlona” (kehadiran seseorang itu terlihat dari jiwanya). Alam harus memperingatkan manusia, kita punya kesempurnaan otak yang tidak ada batasnya, maka jelajahilah semesta, maksimalkan dalamnya dan pakailah untuk hal-hal dijalan yang tepat. Jagad ini dihuni oleh manusia, binatang, alam, planet; tetapi manusia adalah predator tertinggi. Percakapan kami selesai.


Setelahnya saya mengajaknya berkeliling, menunjukan keseluruhan artefak dan menjelaskan alur dan hasil lokakarya. Dia nyeletuk menamai keseluruhan artefak di ruang itu sebagai “Fakultas Percakapan.” Saya segera terpengaruh dan setuju, dengan seketika meletakannya di teks pengantar dinding sebelum masuk ruang presentasi dengan bahasa Indonasia-Malagasy, lantas menamai projek yang belum rampung ini dengan nama tersebut.


Pola presentasi tidak dilakukan seperti biasanya (duduk-bicara dan melihat proyektor). Tetapi semua materi lokakarya ditempel ke dinding, penempatannya disesuaikan dengan tahapan lokakarya, tidak berdasarkan nama maupun kelompok. Khusus untuk sesi 3 saya kelompokan pilihan yang sama, misalkan jawaban pilihnya adalah dingin, maka dalam satu area semuanya tentang gambar tersebut.

Barulah diantara itu semua disebar berbagai alat tulis, diletakkan kertas kosong dengan tulisan “silahkan komentar,” harapannya pengunjung akan ikut mengomentari. Pengunjung diajak berkeliling dan saya ceritakan bagian-perbagiannya, darimana gagasannya berangkat, apa saja yang terjadi di forum, berapa lama proses pengerjaannya. Ada seorang pengunjung yang datang sendiri, masuk langsung mengambil alat tulis dan komentar di kertas kosong dan lembar artefak. Dia menulis menggunakan bahasa Malagasy, ketika saya tanya Sarah katanya dia mengomentari keadaan negara, pemerintah, bagaimana sebaiknya menjadi warga.



Sebagian dari mereka tidak mengetahui dan menyatakan baru lihat bentuk kesenian berdasarkan kerja bersama dan bukan hasil akhir, karya yang mengedepankan gagasan dibanding bentuk artistik. Pak Hanggo malah menyatakan pola ini bisa dipakai sebagai metode untuk penelitian isu tertentu. Pak Sudaryono dari kementrian pertanian menyarankan untuk d­­­ibikin buku, bahkan menyarankan aku untuk menjadi filsuf. Pak Artanto ketua KUTAP menyarankan untuk meletakannya acak dilantai seperti puzzle, sehingga pengunjunglah yang memilah masing-masing artefak yang dipajang tersebut.



Para pengunjung ketika ditanyakan pada akhir presentasi, menyatakan mereka memahami yang kami kerjakan. Mereka balik menanyakan apa makna dibalik semua gambar dan proses ini, sampai kini saya tidak memiliki makna tunggal atau mendetil. Walaupun secara keseluruhan prosesnya semacam investigasi, namun saya tidak bermaksud memaknai satu-persatu layaknya tes psikologi. Saya hanya ingin mengetahui dan menyerap, apa yang mereka lihat dan rasakan. Banyaknya yang muncul dari proses tersebut, juga membutuhkan waktu tidak sebentar, sementara saya harus pulang saat belum selesai saya olah lebih jauh.



(Catatan proses residensi 1-30 November 2014 - Antananarivo and Toamasina, Madagaskar. Dibuat pada 13 Nov 2014 sebagai laporan ke Yayasan Biennale Yogyakarta)