Adalah sebuah karya instalasi yang bereksperimen pada video performance, objek temuan dan bau-bauan. Karya ini adalah hasil dari sebulan residensi di Theertha International Artists' Collective, Colombo, Sri Lanka. Selama sebulan para seniman residensi berkeliling kota, berdiskusi tentang temuan dan apa saja yang hendak kami angkat menjadi karya. Ketika itu kondisi Colombo sedang tidak enak, banyak bom dan tentara ada dimana-mana, kami yang bukan orang Sri Lanka cenderung tegang menghadapi situasi ini.
Is an installation work that experimented on video performance, found object and olfactory elements. This work is the result of a month residency in Theertha International Artists' Collective, Colombo, Sri Lanka. During the residency most of the artists go around the town, than discuss the findings and what we are trying to explore for our work. At that time the Colombo conditions are unpleasant, four bomb blasts and soldiers are everywhere, some artists that are not originally from Sri Lanka tend to be very nervous facing this situation.
Setelah dua minggu mengalami kehidupan disana, saya mulai memiliki beberapa ide, namun nyaris kesemuanya tidak memungkinkan untuk terealisasi karena mengalami benturan dengan kondisi kota. Saat itu Theertha tidak menekan kami untuk harus menghasilkan suatu karya, mereka hanya mewajibkan kami untuk presentasi pengalaman. Sampai suatu ketika saya melihat area pembuangan sampah dan mendapatkan ide untuk melakukan performance art disana. Dari ide tempat saya jadi mengumpulkan sampah buangan galeri dan rumah tinggal, untuk kemudian menjadi kesatuan karya di ruang tertutup.
After two weeks there, I started to have some ideas, but almost all of it impossible to be realized because of the condition of the city. Theertha not hoping us to produce a work, they simply require us to do a presentation of our residency experiences. Until one day I saw a garbage disposal area and got the idea to do a performance art there. From this idea than I start to collecting the waste from galleries and our homes, to then become a combination of art work elements in a confined space.
Hal paling utama yang ingin saya kedepankan dalam karya ini adalah tentang kondisi manusia yang hidup dibawah konflik berkepanjangan. Sempat bertemu beberapa orang yang pernah berdemo ketika masih mahasiswa, namun kemudian mereka dibungkam dengan berbagai cara, bahkan kampusnya sempat ditutup. Periode pembungkaman terjadi diberbagai lapisan masyarakat sekitar sepuluh tahun sebelum kedatangan saya. Sehingga ketika saya datang, mereka sudah dalam periode yang tidak aktif. Memilih diam, membiasakan diri dalam situasi seburuk apapun. Semua orang yang saya temui mempunyai pengalaman menjadi korban langsung maupun tidak langsung, entah saudaranya tewas ataupun luka-luka ringan-parah terkena bom. Hal yang paling saya rasakan adalah adanya ketegangan dalam pemilihan sikap diam mereka, bertahan hidup dengan segala kondisi yang ada.
The main thing that I want to say about this work, is about the human condition that live under prolonged conflict. Met some people who've demonstrated when still a student, but then they are repressed to be silenced in many ways, even the government was closed the campus. The repress period occurs in various society, about ten years before my arrival. So that when I come, they are in silence. Choose to keep in silence, as a successful form of self adapting in any situation. All the people I met had the experience of being a victim, directly or indirectly, whether his brother was killed or injured by a bomb blasts. I feel the tension in their silence, a survival matter to accepting all existing conditions.
Di sisi lain, kedatangan saya tepat pada bulan perayaan Waisak. Sebagian besar penduduk Sri Lanka beragama Budha, sehingga perayaan terasa di berbagai sudut kota. Rumah-rumah menawarkan makanan yang mereka masak kepada kami yang lewat. Ketika mendatangi beberapa Wihara, tampak banyak sekali orang yang beribadah dengan khusyuknya. Rumah-rumah mereka juga dihiasi dengan berbagai hiasan ke-Budha-an. Bayangan saya atas betapa damainya Budha pupus ketika bertabrakan dengan kondisi konflik, keduanya hadir bersamaan, begitu dekat, begitu riuh.
On the other hand, i'm there during the month of Vesak celebration. Most of Sri Lankan population are Buddhist, so the celebration was happen everywhere. The houses offer food for us that passing their places. Lot of peoples devoted in deep prayer at the temple. Their houses are also decorated with various ornaments to Buddha-hood. My imagination on how peaceful Buddhist dashed when it collided with the conditions of conflict, both present together, so close, so boisterous.
Saat saya mendatangi area pasar, saya melihat kebanyakan para perempuan memakai sari. Rambut mereka semua panjang, banyak penjual rambut palsu. Sementara saya yang jalan memakai kaos dan celana pendek malah sempat diludahi seorang pria. Sehingga ketika saya tanya beberapa orang, mereka bilang kalau perempuan bersari dan berambut panjang lebih dihargai, karena mereka biasanya guru atau pegawai pemerintahan. Dari beberapa percakapan kondisi para perempuan juga jauh lebih nyaman di Indonesia, para lelaki jadi terasa lebih berwibawa dan menghargai. Para perempuan merasa lelaki disana tidak suka bila mereka berpendidikan dan bekerja, kecuali kerjaan yang mulia (seperti guru atau di pemerintahan). Apabila mereka aktif, lalu jarang memakai sari dan berambut pendek, akan di cap perempuan tidak benar. Keperawanan juga hal yang sangat dijunjung tinggi, beberapa suami menyimpan sari putih bekas malam pertama bersama istrinya, karena bercak darah lepas keperawanan menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka. Sari berwarna putih perlambang kesucian, biasanya dipakai untuk ibadah, banyak dipakai kaum Brahmana, juga untuk upacara kematian. Sementara sari berwarna merah dipakai saat perayaan, misalnya pernikahan, menyimbolkan dominasi-gairah-sensualitas; juga dipakai perempuan yang sudah menikah saat meninggal.
When I went to the market, I saw most of the women wear saris. Mostly in a long hair, but in the same time there are many fake hair sellers. Mean while, I walk on the street wear shirts and shorts, a man spat on me. So when I asked some people, they said that the long-haired female who wear saree are much appreciated, because they are usually teachers or government employees. From several conversations, I also found out the female condition is much more comfortable in Indonesia, make me see the men are more dignified and appreciated to the woman. The women find men there do not like it when they are educated and working, except the noble work (such as a teacher or in government). When they are active, and rarely wear sari and short hair, women will labeled not properly. Virginity is also something very upheld, husband kept the white sari after the first night, because of the bloodstains is a pride for them. White sari symbol of purity, used for worship, much worn by Brahmins, also for funerals. While red sari worn during celebrations, such as marriage, symbolizing dominance-passion-sensuality; also used by females who are already married when they died.
Theertha International Artists' Residency Exhibition
Red Dot Gallery
8 - 17 June 2008
Colombo, Sri Lanka